Mohon tunggu...
Iden Ridwan
Iden Ridwan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Seorang hamba sahaya, hanya itu saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Orang-orang Berpindah Agama Ketika Pilkada

27 November 2024   10:57 Diperbarui: 27 November 2024   11:08 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah euforia Pilkada 2024, tanggal 27 November tidak dikenang sebagai perayaan demokrasi, melainkan sebagai hari di mana nilai-nilai kemanusiaan dan agama dipertaruhkan di altar kekuasaan. Agama, yang seharusnya menjadi fondasi moralitas, direduksi menjadi alat transaksional, sementara kemanusiaan diubah menjadi sekadar retorika yang hampa. Pada hari itu, banyak yang "pindah agama," bukan dalam arti teologis, tetapi sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip moral dan spiritual.

Istilah "pindah agama" dalam konteks ini tidak merujuk pada perubahan keyakinan spiritual, melainkan pada pergeseran kiblat nilai-nilai hidup. Agama yang semestinya mengajarkan kasih, keadilan, dan solidaritas, diubah menjadi legitimasi untuk kebencian dan perpecahan. Di panggung politik, dogma-dogma suci menjadi instrumen untuk memanipulasi massa, dan hati nurani digadaikan demi kepentingan elektoral.

Dalam kerangka Nietzschean, fenomena ini mencerminkan "moralitas budak," di mana manusia tidak lagi menciptakan nilai-nilainya sendiri, tetapi tunduk pada dogma yang dipolitisasi. Kehendak untuk berkuasa (will to power) yang sejati, yang seharusnya mendorong individu untuk melampaui dirinya sendiri, tergantikan oleh kehendak yang lemah (will to weakness), yang hanya mencari pengakuan melalui subordinasi terhadap struktur kekuasaan. Agama yang berfungsi sebagai sumber kekuatan kini menjadi instrumen penindasan yang membelenggu kebebasan manusia.

Lebih jauh, Sartre menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas, bertanggung jawab atas pilihannya. Namun, pada 27 November, kebebasan tersebut tampaknya dikompromikan oleh ketakutan, manipulasi, dan kebencian yang terstruktur. Dalam absurditas Pilkada, banyak yang memilih berdasarkan narasi yang dikonstruksi oleh elite, bukan berdasarkan kesadaran akan tanggung jawab eksistensial mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka menggadaikan kebebasan mereka demi ilusi keamanan sosial-politik.

Kita menyaksikan ironi ini di berbagai ruang publik---baik fisik maupun digital. Media sosial penuh dengan ujaran kebencian, simbol agama digunakan secara instrumental oleh politisi untuk merebut simpati, dan rumah ibadah menjadi medan kampanye terselubung. Sebagai bangsa yang selalu membanggakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, bukankah ini sebuah ironi yang memprihatinkan? Ketika perbedaan seharusnya dirayakan, ia justru dijadikan alasan untuk perpecahan.

Fenomena ini tidak hanya merusak esensi agama tetapi juga mencederai kemanusiaan itu sendiri. Seorang pendukung fanatik memaki saudaranya hanya karena berbeda pilihan politik, sementara elite politik yang berorasi atas nama keadilan justru menutup mata terhadap ketidakadilan yang mereka perpetuasi. Apakah ini yang dimaksud dengan demokrasi? Apakah ini harga yang harus dibayar untuk kebebasan politik?

Pilkada idealnya adalah sarana untuk membangun masa depan yang lebih baik, tetapi realitasnya sering kali berlawanan. Demokrasi berubah menjadi arena perpecahan yang melukai jiwa bangsa. Jika agama seharusnya menjadi pelita moral, maka kini ia hanya menjadi alat untuk legitimasi kekuasaan. Dalam situasi seperti ini, refleksi mendalam diperlukan: apakah kita masih setia pada prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan agama, ataukah kita telah menjadi pion dalam permainan kekuasaan yang korosif?

Kritik ini tidak dimaksudkan untuk menyerang agama tertentu, melainkan untuk mengajak kita semua mempertanyakan kemanusiaan kita. Tanggal 27 November seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua bahwa politik yang memperalat agama dan kemanusiaan tidak hanya merusak moralitas bangsa tetapi juga merampas jiwa kolektif kita sebagai masyarakat yang beradab.

Jika demokrasi adalah tujuan, maka mari kita kembali ke nilai-nilai dasar: menghormati kemanusiaan, menghormati agama, dan menolak eksploitasi keduanya demi ambisi fana. Tanpa itu, kita bukan hanya kehilangan arah sebagai bangsa, tetapi juga kehilangan inti dari identitas kita sebagai manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun