oleh | BANGUN MANURUNG*
LANGKAH Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melaporkan Ketua DPR Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, atas tuduhan pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk dalih meminta jatah saham di PT Freeport Indonesia (PT FI), kini memicu kontroversi dan kegaduhan politik.
Menurut saya, jelas ada permainan tingkat tinggi di balik munculnya kegaduhan yang dipicu laporan Sudirman Said. Apalagi sejak 2014 di era Pemerintahan SBY-Boediono, PT FI sangat berkeinginan memperpanjang Kontrak Karya. Masih jelas dalam ingatan saya, ketika mendampingi Gubernur Papua Lukas Enembe dalam satu rapat yang dihelat Menko Perekonomian Chairul Tanjung September 2014 di New York, Amerika Serikat, juga dihadiri Menteri Keuangan Chatib Basri, Kepala BKPM Mahendra Siregar serta Pemilik/ CEO Freeport Jim Bob Moffett dan Richard Atkinson, betapa perpanjangan Kontrak Karya Freeport begitu mengemuka dan mendominasi pembicaraan.
Kala itu, Gubernur Papua Lukas Enembe menyampaikan 17 butir pandangannya, terkait perpanjangan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia di Papua. Sementara Jim Moffett dan Richard Atkinson, mendesak adanya keputusan perpanjangan sebelum Presiden SBY mengakhiri masa jabatannya. Namun rapat akhirnya memutuskan tidak memperpanjang, didukung alasan Chairul Tanjung yang tidak menginginkan polemik, atas munculnya tuduhan dan pertanyaan, "Mengapa harus diperpanjang di akhir masa jabatan Presiden SBY."
Kemudian dalam pertemuan terpisah bersama Jim Moffett, Richard Atkinson dan Presdir PT FI saat itu Rozik Boedioro Soetjipto, saya juga mendampingi Gubernur Papua Lukas Enembe, untuk membicarakan rincian 17 poin pandangan Gubernur Papua, menyangkut peran dan tanggung jawab PT FI, termasuk hal ihwal perpanjangan Kontrak Karya (KK).  Lagi-lagi, terjadi perdebatan sengit dan alot tentunya, khususnya terhadap kewajiban pajak air permukaan yang tidak pernah dibayar PT FI, sejak beroperasi di Papua. Memang saat ini, sengketa pajak air permukaan akhirnya dibawa ke pengadilan, walau belum ada keputusan.
Perdebatan lainnya, soal kewajiban divestasi, maupun peranan PT FI bagi masyarakat Papua. Gubernur Enembe konsisten meminta pemenuhan 17 poin, sebagai keinginan Pemprov dan rakyat Papua. Sayangnya, pembicaraan atas berbagai kewajiban, termasuk pembangunan smelter, divestasi, pembangunan PLTA Urumuka hingga pembayaran pajak, selalu dikaitkan dengan isu perpanjangan Kontrak Karya. Dalam pengamatan saya, pihak PT FI selalu mengunci kewajiban mereka dengan imbal balik perpanjangan KK secepatnya.
Merujuk UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba, mewajibkan PT FI membangun smelter di Indonesia, dan sudah harus beroperasi 2017. Gubernur Papua sendiri menginginkan smelter dibangun di Papua, agar terjadi pembangunan dan nilai tambah yang bisa dinikmati rakyat Papua. Namun entah mengapa, pihak Freeport ngotot membangunnya di Gresik, Jawa Timur.
Di sisi lain, PT FI masih diijinkan ekspor konsentrat ke luar negeri dan akan ditinjau setiap 6 bulan, dengan catatan harus diikuti dengan kemajuan pembangunan smelter. Apa lacur, sampai saat ini sudah dua kali perpanjangan ijin ekspor, tapi tanda-tanda fisik pembangunan smelter tak kelihatan nyata, atau laksana fatamorgana. Pertanyaan yang muncul tentunya, "Siapa yang bermain dan berperan dalam perpanjangan ijin ekspor konsentrat produksi tambang Freeport Indonesia?"
Mencuplik lirik lagu Hati Yang Luka dari Betharia Sonatha, "Berulang kali," Gubernur Papua Lukas Enembe meminta Pemerintah Pusat, dalam hal ini Menteri ESDM, agar melibatkan dan mengajak pemerintah Papua serta unsur masyarakat Papua secara aktif dalam setiap pembicaraan PT FI dan perpanjangan Kontrak Karya. Tapi kenyataannya, semuanya bak bertepuk sebelah tangan. Kenyataannya, Pemprov dan rakyat Papua tak pernah berunding duduk sama tinggi, melainkan sekedar pendengar dan mendapatkan kabar dari media massa, atau kabar burung.
Nah, ketika Joko Widodo baru terpilih sebagai Presiden, saya sempat berbicara langsung kepada beliau memberikan masukan persoalan Papua dan Freeport. Perpanjangan KK saya sampaikan, sebaiknya tidak memperpanjang karena melanggar UU. Tentu banyak isu dan permasalahan lainnya terkait Freeport saya sampaikan kepada Presiden Jokowi.
Sedangkan dalam berbagai kesempata bertemu dengan Luhut Binsar Pandjaitan ketika masih menjabat Kepala Staf Presiden, saya menyampaikan sikap dan pandangan Pemerintah Provinsi/ Gubernur Papua, supaya Pemerintah Pusat dan Presiden Jokowi mematuhi atau mentaati UU, sekaligus melibatkan Pemprov Papua, dalam setiap perundingan terkait PT FI. Ini menjadi penting, mengingat sejak Maroef Sjamsoeddin menjabat Presdir PT FI, pihak Papua tidak pernah lagi dilibatkan atau diajak bicara.