Salah satu contohnya, kekuatan Ego memoderasi hubungan antara stres yang dirasakan dengan penyesuaian akademik dan sosial pada mahasiswa (Gfellner & Cordoba, 2017).Â
Bisa jadi, dialog internal itu sesederhana muncul dalam percakapan di kepala: "aku ngajak kenalan dia ga ya?" atau "dia mau temenan sama aku ga ya, kan aku dari kampung..." atau "pertanyaanku konyol ga ya kalau disampaikan di depan kelas?"...dan seterusnya...
Semua pertanyaan contoh ini dapat mengarah ke keputusan berperilaku yang adaptif atau justru sebaliknya, misalnya: jadi minder, insekyur, banyak memendam amarah, self-blaming, dan lain sebagainya.
Jadi, sebenarnya sangat bermanfaat ya, kalau kita mau memahami struktur kepribadian kita. Terutama untuk menguatkan pemahaman dan kesadaran terhadap diri sendiri (self awareness) dan kenyataan yang ada di sekeliling kita.Â
Upaya untuk tetap berpijak pada realita ini adalah semacam pergulatan terus menerus yang melelahkan, namun mau tak mau harus tetap dilalui.Â
Pada saat otak (dalam kerjasamanya dengan Ego) kita sibuk dengan percakapan intrapersonal kesana kemari, energi kita akan terkuras juga. Tidak cukupnya energi yang kita punyai akan menyebabkan konsentrasi terganggu dan sulit menjaga fokus.Â
Akibatnya, pas ditanyain "ada apa?" rasanya udah capek aja mau ngomong. Lebih lanjut, pas diminta "ayok dong ceritain aja" yang ada justru diam seribu bahasa.
"I have nothing to say"
"Dunno where to start"
"Nothing"
Atau akhirnya cukup bilang:
"I'm okay".
Nah, gimana kita ngebedain jawaban "I'm okay" ini artinya bener-bener okay dan sebenarnya ga okay?
Tanda-tanda dari bahasa nonverbal akan sangat membantu sih. Misalnya: seberapa sering tarik nafas panjang? Ke arah mana pandangan matanya, menghindari kontak mata kah? Ekspresi wajahnya bagaimana, flat atau sendu atau ceria?Â
Meskipun kata saya sih tricky ya kalau hanya melihat ekspresi wajah doang tanpa mempertimbangkan eye expression. Jadi, better perhatikan konfigurasi tanda-tandanya.