[caption id="attachment_341305" align="alignleft" width="600" caption="Menitipkan suara rakyat"][/caption]
Pemilihan umum legislatif 2014 dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2014 baru saja usai digelar. Namun pembahasan panjang mengenai rencana penyelenggaraan pemilihan umum serentak masih berjalan. Sementara ini, Mahkamah Konstitusi baru memutuskan mengenai pemilihan umum serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2019. Pemilu serentak yang dimaksud adalah pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota) dan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Sementara dalam waktu dekat ini, agenda pemilihan umum yang akan diselenggarakan adalah pemilihan umum kepala daerah (pilkada) yang rencananya juga dilakukan serentak mulai tahun 2015 mendatang. Banyak aturan penting dan baru terkait pilkada, masih dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) yang hingga kini masih tarik ulur pembahasannya. Sementara berdasar kesepakatan antara Komisi II DPR dengan Kemendagri, bahwa RUU Pilkada akan dibahas sebelum masa kerja anggota DPR periode 2009-2014 habis.
Rencana pilkada serentak ini merebak seiring munculnya evaluasi-evaluasi yang dilakukan terhadap penyelenggaraan pemilihan umum. Sebagai informasi, konsep pemilihan umum serentak hanya dikenal di negara-negara yang menganut sistem presidensial, karena anggota legislatif dan pejabat eksekutifnya dipilih melalui pemilihan umum. Sedangkan di negara yang menganut sistem parlementer, hanya ada satu pemilu parlemen. Kemudian parlemen tersebut mengangkat perdana menteri dan kabinet.
Di Indonesia, berbagai pilkada yang dilaksanakan setiap waktu menyebabkan kejenuhan masyarakat untuk selalu menggunakan hak pilihnya setiap pemilu digelar dengan rentang waktu yang berdekatan, selalu mendengarkan janji-janji kampanye, menimbulkan kebosanan dan lebih parahnya, muncul distrust pada partai politik yang berakibat semakin tingginya jumlah golput dari waktu ke waktu. Tidak mengherankan jika pemilu di Indonesia termasuk yang paling kompleks di dunia.
Selain masalah efisiensi waktu, tentu masalah biaya menjadi salah satu pertimbangan penting. Penyelenggaraan pilkada yang begitu banyak di Indonesia dan terjadi hampir sepanjang tahun dinilai sangat membebani anggaran negara. Bahkan menurut FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), kewajiban membiayai pilkada bagi daerah –termasuk yang kemampuan fiskalnya rendah- mengurangi belanja pelayanan publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Apalagi sekitar 65% dari anggaran penyelenggaraan pemilu tersebut merupakan honor petugas yang dibayarkan berdasarkan setiap even pemilu. Pembiayaan pilkada dapat berkisar 25 miliar rupiah untuk pilkada satu kabupaten/kota, dan 100 miliar rupiah untuk pilkada satu provinsi. Biaya yang besar tersebut memberikan peluang untuk melakukan politik dan politisasi anggaran oleh sejumlah oknum pelaku di daerah.
Lalu jika menyangkut nominal uang, berapakah yang bisa dihemat dengan menyelenggarakan pilkada serentak? Hitungan pastinya belum ada dan versinya masih beragam, namun telah ada semacam kesepakatan umum yang muncul, bahwa pemilu serentak akan menyusutkan biaya pemilu secara signifikan. Terutama 65% anggaran pemilu yang habis untuk honor petugas yang dibayar tiap momen pemilu, dapat dipangkas jika penyelenggaraan pemilu menjadi serentak.
Efisiensi waktu dan efektivitas anggaran tersebut adalah dua hal yang dominan disampaikan ke publik tentang alasan perlu dan pentingnya pilkada serentak ini. Namun benarkah rencana pilkada serentak ini memang hanya bertujuan menghemat waktu dan biaya negara? Jika memang demikian, mengapa tidak kembali ke zaman sebelum reformasi, dimana pemilihan kepala daerah (baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota) dikembalikan kepada DPRD? Dengan konsekuensi demokrasi di Indonesia tidak berkembang lebih modern justru kembali mundur ke belakang.
Namun demikian, pelaksanaan pilkada secara serentak ini bukan tidak akan menimbulkan permasalahan baru, terutama secara politis. Terlebih melihat perilaku politik partai-partai yang sejauh ini masih pragmatis, memperioritaskan kepentingan jangka pendek. Di mana partai politik seringkali menjalin koalisi tanpa memperhatikan latar belakang ideologi serta kesinambungan kesejarahan (ahistoris). Sangat mungkin terjadi di satu daerah partai X menjalin koalisi dengan partai Y, sementara di tetangga daerah tersebut partai X menjadi rival dari partai Y. Ketika hal demikian banyak terjadi, sementara pilkada dilakukan secara serentak, maka hal ini justru dapat berpotensi meningkatkan apatisme masyarakat terhadap pemilu, dikarenakan tidak konsistennya sikap dan perilaku partai politik.
Selain itu, sudah jamak terjadi menjelang pilkada dilaksanakan, para petahana yang berniat mencalonkan diri kembali sering tidak fokus dalam memberikan pelayanan terhadap publik. Begitu pula dengan potensi korupsi politik yang mungkin terjadi secara massif. Bila hal ini dominan terjadi secara bersamaan di banyak daerah, maka akan sangat merugikan negara secara keseluruhan.
Terlepas dari sisi positif dan negatif yang mungkin terjadi, wacana pilkada secara serentak yang saat ini sedang “dimatangkan” dalam draft RUU Pilkada patut mendapat perhatian dan kajian secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan akan sangat menentukan wajah demokrasi dan tata kelola pemerintahan Indonesia ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H