Saat ini, di alam demokrasi Indonesia yang tumbuh subur (dan cenderung liar), kita akan terbiasa menjumpai orang atau tokoh yang sangat getol, optimis, ambisius, dan bahkan arogan, menonjolkan diri sebagai calon pemimpin masa depan. Orang-orang ini dengan segala cara (baik halal dan tidak halal) berusaha keras untuk menjadi pejabat publik, dari DPRD, DPR, DPD, walikota, bupati, gubernur, sampai presiden. Mereka mengklaim bahwa mereka layak dan mampu mengemban amanah itu. Sebagian dari mereka mengandalkan prestasi masa lalu (meskipun yang dianggap prestasi tidak ada yang tahu). Sebagian lain tidak punya prestasi apa-apa atau melupakan rekam jejak masa lalu sebagai narapidana, pencopet, pengutil, penindas, pencuri, koruptor, atau malah pengangguran. Pokoknya, mereka percaya diri  kalo demokrasi sekarang ini membuka kesempatan lebar buat semua orang, termasuk mereka, untuk berpartisipasi sebagai pejabat publik. Sementara itu, sebagian para pemimpin kita yang sangat terobsesi dengan kekuasaan, menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan yang mereka tetapkan. Beberapa kepala daerah dengan entengnya meminta satpol untuk menggunakan kekerasan untuk menertibkan kota. Beberapa yang lain bahkan tanpa merasa bersalah menguntit uang APBD untuk keperluan kelompok (parpol) dan pribadi. Begitu juga, wakil rakyat memperjualbelikan jabatan untuk memperoleh kenikmatan. Mereka seperti kerasukan semangat Niccolo Machiavelli yang mengajarkan prinsip-prinsip yang menjustifikasi berbagai cara untuk mencapai tujuan. Bagi kita yang berakal sehat, fenomena ini sungguh aneh dan tidak masuk di akal (tepok jidat!!). Mengapa? Karena sepertinya banyak orang tidak lagi mampu membedakan antara sarana dan tujuan. Para bakal calon pemimpin ini lupa bahwa menjadi pejabat publik adalah sarana untuk mencapai suatu tujuan mulia dan bukan tujuan itu sendiri. Mereka beramai-rama mengejar jabatan (dengan segala cara!!) seakan-akan kalo tidak mampu memperolehnya, dunia akan kiamat. Mereka sekarang justru melupakan tujuan sesungguhnya, karena jabatan sebagai sarana telah bergeser sebagai tujuan mereka. Kalaupun mereka memiliki embel-embel tujuan akhir, seperti mewakili dan memperjuangkan nasib rakyat, itu hanya untuk jualan saja. Sesungguhnya tidak sedikitpun ruang di hati nuraninya disisihkan untuk perjuangan itu. Yang mendominasi hati dan pikirannya sebenarnya adalah kenikmatan yang diperoleh sebagai pejabat: uang setoran, kendaraan dinas, rumah dinas, cewek-cewek cantik, dan kekuasaan. Harta, tahta,  dan wanita! Kita tidak tahu sampai kapan fenomena ini mendera bangsa ini. Kasihan sekali Indonesia karena secara faktual orang yang menjadi wakil rakyatnya adalah orang-orang dari golongan ini. Kasihan rakyat kita, karena nasib mereka dilupakan ketika mereka menjabat. Kasihan rayat kita, karena ternyata mereka ditipu habis-habisan ketika pemilu. Lalu, apa yang perlu kita lakukan? Sederhana saja. Jangan pilih mereka yang masa lalunya pernah dihukum karena menindas, mencuri, membunuh, atau bahkan menganggur! Atau, lebih gampang lagi, jangan pernah mendukung parpol yang pemimpinnya, atau ada anggotanya, yang memiliki sejarah buruk, yang menjadikan sarana demokrasi sebagai tujuan. Kita pun jangan ikut gagah-gagahan menjadi anggota parpol yang korup. Janganlah kita lupa juga, menjadi anggota parpol sebagai tujuan (dengan harapan yang sama menjadi calon wakil rakyat atau hanya ingin dicap menjadi pelaku demokrasi). Langkah kecil ini akan dapat menyelamatkan kita dari kehancuran, saudara-saudara!! Jadikan sarana sebagai sarana, dan tujuan sebagai tujuan. Jangan dibalik! Dan, ingat, sarana membangun bangsa itu banyak ragamnya! Tidak harus menjadi wakil rakyat atau pejabat publik. Ya kan? Perjuangan kecil untuk keluarga dan lingkungan kecil pun juga sarana untuk mencapai tujuan mulia. Contoh terbaik yang saya bisa berikan adalah bergabung dan aktif sebagai kompasioner..hehe...betul? Ini juga sarana yang nilainya sama dengan wakil rakyat, meski "efek" sampingnya tidak sama. Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H