Persoalan korupsi dapat dilihat dari berbagai dimensi. Kita bisa melihatnya sebagai bagian dari proses politik di era demokrasi yang cenderung memuja kebebasan dan kekuasaan seperti kita saksikan selama ini. Kita juga meneropongnya dari kacamata sosial budaya yang menganggap korupsi sebagai kebiasaan yang melekat dalam diri manusia Indonesia. Begitu juga, korupsi dapat dipandang sebagai manifestasi dari rendahnya iman seseorang karena agama sepertinya sudah tidak memiliki relevansi lagi dengan keseharian kita; urusan dunia dan akhirat adalah dua hal yang berbeda.
Tulisan ini tidak ingin mengulas korupsi dari berbagai perspektif tersebut melainkan ingin melihatnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan satu faktor penting dalam sistem organisasi, yaitu kepempimpinan dan etika publik. Argumen penulis mengenai perlunya melihat korupsi dari perspektif ini adalah keyakinan bahwa kepemimpinan dan etika publik merupakan variabel penting yang menentukan hitam putihnya organisasi. Bila sebuah organisasi memiliki kinerja yang buruk, sudah dapat dipastikan bahwa hal itu memiliki hubungan dengan kualitas kepemimpinan yang buruk pula. Sebaliknya, pemimpin yang kompeten dan berintegritas akan mampu membawa organisasi menjadi lebih baik.
Kepemimpinan
Mengapa pemimpin menjadi variabel penting dalam yang perlu dipertimbangkan dalam pemberantasan korupsi, khususnya di Indonesia? Ada dua alasan. Pertama, pemimpin adalah orang yang bertanggungjawab dalam merumuskan visi organisasi. Merekalah yang menentukan apa yang harus dilakukan, bukan bagaimana melakukan sesuatu. Pemimpin akan mengarahkan dan memastikan bahwa organisasi akan melakukan hal yang benar (do the right thing), bukan sekedar melakukan sesuatu dengan benar (do the things right). Kedua, peran pemimpin sangat dibutuhkan dalam masyarakat paternalistik, yang menjadi salah satu ciri khas Indonesia. Dalam iklim paternalistik, pada umumnya masyarakat akan patuh pada pemimpin dan cenderung meniru apa yang dilakukan pemimpin.
Dalam sistem pengendalian intern pemerintah, faktor kepemimpinan memiliki peranan penting yang menentukan warna organisasi. Kepemimpinan menjadi elemen penentu iklim organisasi atau lebih dikenal sebagai lingkungan pengendalian. Bagi penulis, tidaklah sulit untuk bisa membuktikan, misalnya, hubungan antara kepemimpinan, praktik korupsi dan kualitas pertanggungjawaban keuangan. Dalam berbagai kesempatan melakukan pemeriksaan keuangan daerah, penulis telah menyaksikan pemda-pemda yang layanan publiknya begitu buruk serta pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan yang amburadul. Pemda-pemda semacam ini biasanya dipimpin oleh seorang bupati atau walikota yang pada umumnya tidak memiliki visi mengenai akuntabilitas dan pelayanan publik. Yang memprihatinkan, di antara pemda-pemda tersebut ada yang dipimpin oleh seorang bandit, dalam arti sebenarnya. Dia lebih banyak mengeksploitasi keuangan daerah untuk kepentingan pribadi, bahkan sampai membabat habis hutan di wilayahnya tanpa sisa selama 10 tahun dia menjabat sebagai Bupati. Bahkan, sebelum lengser dari jabatannya, Bupati ini sempat mengeluarkan keputusan untuk melelang semua kendaraan dinas meskipun kendaraan-kendaraan tersebut belum memenuhi syarat untuk dihapuskan. Keputusan ini dibuat karena yang bersangkutan ternyata ingin memiliki mobil mewah yang dibelinya dari uang APBD dan digunakan sebagai kendaraan dinas selama menjabat bupati. Sebagai akibatnya, selama 10 tahun itu, opini atas laporan keuangan kabupaten ini tidak pernah sekalipun beranjak dari predikat disclaimer atau tidak memberikan pendapat, yang merupakan opini terjelek di antara opini laporan keuangan lainnya. Yang lebih fenomenal, masyarakat setempat mengakui bahwa selama kepemimpinan Bupati itu mereka tidak merasakan perubahan positif apapun kecuali proyek-proyek yang bermasalah, mangkrak dan kerusakan hutan. Contoh sebaliknya mengenai peran kepempimpinan adalah terkait kabupaten lain yang secara konsisten mengalami perbaikan opini atas laporan keuangan, dari disclaimer menjadi wajar tanpa pengecualian. Kabupaten ini mampu meraih opini terbaik berkat dukungan dan komitmen para pemimpin di kabupaten tersebut, yaitu bupati, sekretaris daerah, ketua DPRD dan kepala dinas. Penulis menyaksikan betapa mereka kompak, solid, dan sangat peduli dengan kualitas pengelolaan keuangan daerah, dan kekompakan itu terbayar dengan perolehan opini terbaik.
Etika Pelayanan Publik
Variabel lain yang juga akan menentukan kemungkinan terjadinya praktik korupsi adalah etika pelayanan publik. Esensi dari etika pelayanan publik sebenarnya tidak lain dari pengakuan akan pentingnya sikap menjunjung tinggi kepentingan publik. Sikap tersebut berupa penghargaan terhadap nilai-nilai moral, yang tercermin dalam layanan publik yang berkualitas. Konstruksi “kualitas” tersebut mengandung nilai kejujuran, keadilan, transparansi, hak asasi, kepedulian dan keberpihakan pada yang lemah dan teraniaya, dan berbagai nilai-nilai moral yang berlaku universal lainnya. Etika layanan publik merupakan sebuah proyek idealis karena menyampingkan kepentingan pribadi dan golongan. Oleh karena itu, seseorang yang telah memutuskan menjadi pejabat publik (dan pegawai negeri) idealnya telah memiliki komitmen untuk membela kepentingan publik dalam setiap keputusan dan tindakannya.
Dalam konteks peran kepemimpinan dalam ranah publik, dimensi etis ini sungguh penting karena ia akan menjadi spirit yang melandasi jiwa seorang pemimpin, terutama pejabat publik. Namun demikian, ironisnya, faktor etika selama ini justru diabaikan, sampai-sampai hal pengangkatan pejabat publik dari pegawai mantan terpidana kasus korupsi baru kita persoalkan sekarang. Yang lebih memprihatinkan, dan juga baru terkuak sekarang, adalah praktik pemerasan yang dilakukan oleh para wakil rakyat terkait alokasi anggaran kepada BUMN (penulis yakin bahwa hal yang sama juga terjadi dengan para anggota DPRD dalam alokasi anggaran kepada instansi pemerintah daerah).
Fakta-fakta tersebut setidaknya membuktikan bahwa etika ternyata telah lama disingkirkan dan tidak lagi menjadi bagian dari spirit pelayanan publik. Meski slogan pemerintah sebagai “pamong praja” telah lama dicanangkan, namun semangat “pangreh praja” tetap melandasi hampir semua aktivitas pejabat publik. Mengumbar kemewahan fasilitas jabatan, dari kendaraan, kantor, sampai rumah dinas, seakan telah menjadi sebuah kewajiban yang harus segera dipenuhi, terlepas dari berbagai masalah pendidikan, kemiskinan, pengangguran, dan derajat kesehatan rendah yang dialami oleh sebagian besar masyarakat kita. Para pejabat publik kita masih mengutamakan layanan untuk mereka, bukan untuk masyarakat yang telah memilih meraka. Bila selama ini kita menyebutnya sebagai hilangnya nurani para pejabat, penulis akan menyebutnya sebagai hilangnya etika dalam layanan publik. Ketiadaan etika dalam pelayanan publik merupakan hal yang sangat menyedihkan karena sejatinya hal itu sama artinya dengan tidak adanya institusi negara ini. Mengapa? Karena, sekali lagi, etika pelayanan publik adalah spirit pemerintah. jika etika tidak ada, maka spirit itu pun tidak ada, dan ketiadaan spirit sama saja dengan kematian! Kalapun sekarang masih kita saksikan keberadaan institusi publik yang pemimpinnya tidak memiliki etika, institusi tersebut tidak ubahnya seperti mayat hidup yang bergentayangan, yang siap merampas nilai-nilai yang harusnya dijunjung tinggi.
Tolak Calon Pemimpin Korup
Sampai di sini, kiranya dapat dipahami bahwa peran pemimpin sangat sentral dalam mewujudkan pemerintahan yang betul-betul melayani publik dan bebas dari korupsi. Saat ini, kita butuh pemimpin yang tidak hanya dipilih oleh rakyat, tetapi juga pemimpin yang menjunjung etika dan menjadikan etika sebagai spirit kepemimpinannya. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana kita bisa memperoleh pemimpin semacam itu? Jawabannya tentu bukan dengan menunggu datangnya ratu adil, melainkan dengan secara aktif mewujudkan proses demokrasi atau sistem rekrutmen pejabat publik yang menjamin terpilihnya pemimpin beretika.
Bagaimana caranya? Terkait pertanyaan ini, menurut penulis ada dua kemungkinan. Pertama, perbaiki partai politik. Dalam hal ini, partai politik harus mewujudkan idealismenya sebagai pembawa nilai-nilai demokrasi yang tulen dengan cara selalu mengusung kader dan calon pemimpin yang berintegritas. Jika hal ini tidak juga dilakukan oleh partai politik, maka dapat ditempuh cara kedua, yaitu tidak memilih partai politik dan calon pemimpin yang punya sejarah menganiaya kepentingan publik dengan melakukan korupsi pada masa lalu. Pilihan kedua ini berada dalam kendali penuh masyarakat, kita, selaku pemegang kedaulatan negara ini. Gunakan pilihan secara bertanggung jawab. Kepedulian kita akan kualitas pemimpin merupakan bentuk kepedulian kita akan masa depan kita sendiri. Jangan biarkan orang-orang yang memiliki kasus korupsi, pada bandit, menjadi pemimpin dan pembuat kebijakan publik bila kita tidak ingin masuk jurang yang lebih dalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H