Beberapa waktu yang lalu, saya dengan beberapa teman makan malam bersama. Bisa dibilang, Dinner kecil-kecilan. Setelah shalat Mahgrib, kami beriringan menuju salah satu tempat makan yang lumayan bagus lah untuk ukuran mahasiswa (Penulis masih mahasiswa, hehe). Setelah menunggu beberapa saat, pesanan kami berupa telor mata sapi, oseng kangkung, sambal, dan segala ubo rampe telah terhidang menggiurkan di depan kami. Ketika saya mulai makan sesuapan, tiba-tiba ada pengamen yang datang di tempat makan tersebut. Ah! ini dia ! setelah sekian lama, akhirnya saya dapat berjumpa kembali dengan pengamen yang satu ini. Ada beberapa hal yang khas yang tidak saya temui pada pengamen lain selain pengamen yang satu ini.
Pertama, dari penampilan dan persiapan ngamennya saja sudah berbeda dengan pengamen kebanyakan. Dia, merupakan pengamen solo, menggunakan gitar listrik modifikasi sendiri. Saya curiga, mungkin made in sendiri, hehehe. Memakai jaket belel khas, harmonika, dan topi bulukan. Menurut saya, ini merupakan suatu style yang pengamen yang unik.
Selanjutnya, adalah dia selalu mengamen di bagian luar warung, lebih tepatnya dekat pintu masuk atau pelataran warung. Seperti biasanya, dia berada pada posisi di pelataran warung saat malam itu. Kemudian, mulailah dia bernyanyi. Nah, ini salah satu bagian favorit saya, dia selalu menyanyikan lagu - lagu Bang Iwan Fals. Pengamen itu, dalam kesmepatan saya berjumpa denganya, selalu menyanyikan lagu - lagu Bang Iwan Fals. Tidak pernah mengikuti perkembangan trend, entah saat trend melayu ataupun sekarang adalah era Boyband dan Girlband. Malam itu, dia menyanyikan lagu "Tikus - Tikus Kantor".
Keistimewaan selanjutnya adalah, dia menyanyi dengan nada yang bagus, tidak sumbang, dan ekspresif. Setiap nada yang dia keluarkan, setiap lirik yang dinyanyikan, pengamen tersebut menikmatinya. Saya, dengan kedua teman saya, menikmati pertunjukkan pengamen tersebut. Perlu diketahui, di warung juga diperdengarkan musik melalui pengeras suara dengan volume lumayan kencang. Tetapi kami tetap bisa menikmati pertunjukkan yang ditampilkan pengamen tersebut pada malam itu. Saya liat, beberapa orang di warung tersebut juga menikmati pertunjukkan yang ditampilkan olehnya.
Hal khas lainnya dari pengamen ini adalah, dia akan menyanyikan lagu utuh, sampai selesai. Tidak setengahnya ataupun hanya beberapa bait. Dia menyanyikan utuh sesuai dengan lagu aslinya. Setelah lagunya selesai, dia tidak berjalan ke para tamu atau "pendengar", meminta upah mengamen, tetapi hanya diam di tempat dia menyanyi. ini ciri khas yang jarang saya temui juga pada pengamen kebanyakan yang biasanya suaranya sumbang, nyanyinya sedikit, baru 1 bait lirik saja sudah berkeliling memintas sekadar recehan dengan tampang sangar dan perilaku agak memaksa. Mungkin, Inilah yang menjadikan saya kagum pada pengamen yang satu ini.
Merasa terhibur, teman saya memberikan 10rb rupiah kepada pengamen ini. Saya pun dulu pernah memberi sekitar 5rb rupiah karena takjub dengan gaya pengamen yang satu ini. Dari pengamen tersebut, saya belajar beberpa hal. Pertama, lakukan pekerjaan kita sebaik mungkin, apapun pekerjaannya. Pengamen ini mungkin tidak pernah bercita-cita menjadi pengamen dulunya, atapun sekarang dia agak terpaksa dengan profesinya sekarang. Tetapi, dia menjalankannya dengan sebaik mungkin, sebisa dan semampu dirinya. Kedua, apapun profesi kita, tetap lakukan dengan hati yang lapang, dan kalau bahasa jawanya nrimo. Tidak dengan mentang - mentang dia pengamen, salah satu kaum papa di Indonesia Raya ini, dia menghalakan statusnya untuk bertingkah "memaksa" upah mengamennya, ataupun mungkin bertindak kriminal 363 dengan mengatakan kalimat klise "terpaksa pak, buat makan". Ketiga, hasil itu sebanding dengan usaha plus faktor x. Faktor x disini menurut saya adalah Softskill, doa, dan keunikan. Coba saja, dia sama dengan pengamen - pengamen blangsak lainnya, paling hanya dapat 500 perak, atau maksimal 1000rb lah. Tetapi dengan kenikannya, usaha untuk tampil sebaik mungkin, dan tetap menghormati orang lain, wajar saja dia mendapatkan lebih daripada pengamen-pengamen kebanyakan.
Setelah menyanyikan lagu yang ketika, pengamen tersebut pergi meninggalkan warung tersebut, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih dengan membungkukkan badan. Makanan yang terhidang juga sudah habis kami lahap. Saya bersama teman saya membayar dan meninggalkan tempat makan tersebut. Dalam perjalanan pulang, pikiran saya melayang, apakah para "yang terhormat", para yang "ngakunya terpelajar", dan para pemimpin di Negeri Indonesia Raya ini memiliki kualitas minimal seperti pengamen favorit saya tadi? Saya rasa, kawan-kawan bisa menebak apa yang ada di pikiran saya....
kisah usang tikus-tikus kantor
yang suka berenang disungai yang kotor
kisah usang tikus-tikus berdasi
yang suka ingkar janji
lalu sembunyi dibalik meja
teman sekerja
didalam lemari dari baja
kucing datang
..........
(ditulis sambil ditemani Santa Esmeralda-You're My Everything)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H