Mohon tunggu...
Ida Yuhana Ulfa
Ida Yuhana Ulfa Mohon Tunggu... -

Seseorang yang ingin terus belajar, pada siapapun, apapun, kapanpun, dimanapun,

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Siti Nurbaya 2011

21 Februari 2011   09:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:24 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku diam tidak memberi komentar apa-apa. Aku benar-benar pusing 7 keliling. Hari ini seluruh keluargaku berkumpul. Bapak yang mulai sepuh, agak pikun dan sakit-sakitan, Paklik, satu-satunya adik Bapak yang tinggal satu desa denganku, serta 3 kakak tersayang yang jauh-jauh datang dari Malang dan Surabaya hanya untuk menemuiku.

Tanpa meminta persetujuanku, mereka telah menerima lamaran untukku. Sungguh aku ingin marah, mengumpat dan berteriak sekencang-kencangnya. Namun semua hanya sampai di kerongkongan, bertumpuk jadi satu yang malah mengakibatkan aku tidak mampu berkata apa-apa.

"Sudahlah Nduk, pokoknya kamu manut saja sama Paklik. Paklik jamin pilihan Paklik tidak akan salah. Dia adalah yang terbaik diantara yang terbaik." Huh, tidak Paklik, tidak kakak-kakakku, mereka keroyokan menjejeli otakku dengan 1001 alasan untuk menerima lamaran ini. Yang sebab Ibu sudah meninggal lah, Bapak sakit lah, harus ada laki-laki yang membantuku untuk merawat Bapak lah, umurku 25 tahun lah, sebab aku sudah PNS lah, sebab calonku ini bibit, bobot, bebetnya sangat baguslah...... Wathever, aku anggap semua alasan mereka cukup masuk akal. Tapi untuk yang terakhir, tentang si calon yang dibicarakan, benar-benar membuatku eneg, membuat perutku serasa di aduk-aduk dan ingin muntah saja.

*********

Aku tumbuh dan dibesarkan dari lingkungan dengan tradisi agama yang kuat. Bapakku, pernah menjabat sebagai ketua sebuah organisasi kemasyarakatan terbesar di tingkat kecamatan, sedang ibuku adalah perempuan tergesit yang pernah kutemui, tentu saja aktifitasnya tidak jauh dari kegiatan pengajian, Berjanjen, yasinan, dari satu desa ke desa yang lain, dari satu kecamatan ke kecamatan yang lain.

Sejak kecil, telingaku sudah akrab dengan lantunan ayat suci al Qur'an dan Sholawat Nabi. Usai 6 tahun aku sudah lancar al Quran, bahkan beberapa surat pendek hapal di luar kepala. Usia 7 tahun aku sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (setara SD dengan pelajaran umum-agama / 50-50) yang kebetulan pendiri yayasannya adalah Bapakku. Lulus MI, aku langsung di 'buang' di salah satu pesantren terkenal di Jombang.

Seperti umumnya pesantren salaf (pesantren kuno), selama 6 tahun, sehari-hari aku belajar memperdalam ilmu agama. Kebetulan, pesantren yang aku tempati lebih konsentrasi pada pemahaman kitab kuning daripada hapalan Qur'an. Jadi, meski aku khatam Qur,an tak terhitung jumlahnya, tapi aku tidak menghapalnya. Cuma, kalau kitab kuning, itu adalah makanan sehari-hariku. Mulai dari kitab yang cukup 'mudah', Ta'lim Muta'allim, Bidayatul Hidayah, Mabadiul Fikhiyyah, 'Usfuriyyah, sampai kitab yang lumayan 'berat', Al Adkar, Riyadhus Sholihin dan Sohih Bukhori dll.

Demikian pula, sebagai santri, aku harus patuh dengan segala tata aturan pesantren, mulai shalat lima waktu harus berjamaah di masjid, shalat tengah malam, larangan keluar pondok dan mengikuti kegiatan apapun kecuali sekolah, tidak boleh memakai celana (harus pakai rok), tidak boleh membawa majalah dan segala hal yang berhubungan dengan elektronik, alas tidur harus tikar, tidak boleh memasak alias harus ikut makan di pondok dengan lauk (selalu) tempe dan kuah tanpa isi. Hemmm, Aku masih ingat, jangankan ayam atau ikan, dapat lauk ikan asin atau telur 1 bulan sekali saja rasanya, yummy, nikmat habis pokoknya.

Hingga, setelah lulus Aliyah (setara SMA) orangtua memutuskan agar aku melanjutkan kuliah di IKIP Surabaya, berharap setelah lulus, menjadi guru, pulang kampung, mbangkoni rumah dan merawat orang tua seperti yang selalu mereka cita-citakan.

Dan begitu aku menginjakkan kaki di kampus, bagai anak panah yang lepas dari busurnya, Aku benar-benar merasakan kebebasan yang luar biasa, yang tidak pernah aku temui sebelumnya.

Kebebasan yang aku maksud adalah kebebasan berpikir. Kebebasan untuk menyelami segala ranah yang sebelumnya aku tidak tahu bahwa itu ada. Dan kupergunakan kebebasan itu sebaik-baiknya. Ku buru semua haus motorikku dengan mengikuti semua kegiatan, organisasi dan berbagai macam kegiatan yang menurutku menarik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun