Mohon tunggu...
Ida Yuhana Ulfa
Ida Yuhana Ulfa Mohon Tunggu... -

Seseorang yang ingin terus belajar, pada siapapun, apapun, kapanpun, dimanapun,

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Membandingkan Model Penulisan Buku Fiksi “Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur” “Perempuan Di Titik Nol” dan “Bumi Manusia”

5 Juli 2011   16:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:54 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca tiga buku dalam satu waktu, tidak bisa menahan untuk tidak membandingkan. Meski baik secara histories pembuatan maupun kualitas penulis, seharusnya memang tidak bisa dibandingkan.

**********

Judul Buku : “Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur”

Penulis : Muhiddin M. Dahlan

Keterangan : Indonesia

Setting Lokasi: Jogjakarta dan sekitarnya

Salah satu teman yang kebetulan penulis, membuat status di facebook bahwa buku ini adalah satu dari sekian buku yang telah merubah hidupnya. Tapi…, setelah aku mencoba membacanya lebih teliti (karena dulu aku sudah pernah membacanya, tapi hanya sepintas) tidak juga, terlalu berlebihan jika buku ini di posisikan sedemikian agungnya.

Secara, buku yang murni fiktif ini tokoh utama dan satu-satunya, yang digambarkan keras kepala dan memiliki keingintahuan yang besar, hanya Nidah Kirani, tidak ada tokoh lain. Alur ceritanya pun dari halaman pertama hingga terakhir, lurus-lurus saja, dari belakang terus maju ke depan. terus terang, secara umum buku ini malah cenderung membosankan. Satu-satunya kelebihannya adalah paparan hasil riset penulis tentang beberapa aliran semacam organisasi ekstra kampus yang memang marak mewarnai dunia mahasiswa. Sayangnya, meski hasil risetnya cukup baik, tapi pembaca lebih banyak disodori paparan data berbentuk kata-kata, tidak ditemui dialog yang mengesankan bahwa tokoh Kiran adalah nyata dan memiliki ruh. Benar, membaca buku ini seperti membaca hasil sebuah penelitian, tapi agar lebih menarik dan populer, maka si penulis membubuhi nya sedikit di sana-sini dengan cerita fiksi.

Beberapa riset yang mudah tertangkap dari buku ini (meski penulis tidak menyebut nama) :


  1. OMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus) semacam KAMMI, HTI
  2. Organisasi NII, lengkap dengan struktur organisasi dari tingkat terendah hingga pusat (ide utama)
  3. Organisasi Kiri (hampir semua organisasi kiri memiliki karakter sama ; liberal, bebas, suka demonstrasi dan konfrontatif)
  4. Paham Sufi
  5. Latihan Kepemimpinan Kampus
  6. Setting view Merapi
  7. Narkoba
  8. Tentang kehidupan jalanan
  9. Lingkungan pelacuran

Alur yang dipakai : menentukan garis besar cerita – mengumpulkan data – merangkum cerita dengan menambahkan data.

----------------

Judul Buku : Perempuan di Titik Nol

Penulis: Nawal El Saadawi

Keterangan: Terjemahan dari Women At Point Zero,

Setting Lokasi : Mesir

Untuk ukuran buku biasa (bukan kategori buku subversif) kesimpulan pertama yang muncul di otak setelah membacanya adalah buku ini kasar, kejam, menghunjam, dan benar-benar menohok hati, terutama bagi para lelaki yang membacanya. Benar-benar mewakili karakter penulis yang memang seorang aktifis perempuan.

Tanpa niat sengaja, ternyata sekilas cerita buku ini memang mirip “Tuhan, ijinkan aku menjadi Pelacur.” Mulai dari Firdaus, tokoh utama perempuan dan satu-satunya, hinggal alur yang dari belakang terus maju ke depan.

Namun kelebihan buku yang ide dasarnya perempuan tuna susila yang dihukum mati gara-gara membunuh germonya ini, sangat hidup, terutama dalam menggambarkan konflik dan pelecehan seksual yang dialami Firdaus sejak kecil, hingga dialog-dialog yang (meski tidak utama) ternyata sangat membantu penguatan karakter si tokoh.

Kelebihan lain dari buku ini adalah kalimat-kalimat vulgar Firdaus yang seperti telah saya bilang, kasar, kejam, menghunjam dan sangat menohok. Dan yakin, kalimat-kalimat seperti ini tidak akan ditulis oleh novelis sembarangan. Bahkan, Mochtar Lubis (Alm), Jurnalis dan pengarang ternama di Indonesia dalam kata pengantarnya sampai harus menulis ulang beberapa potongan kalimat radikal dalam buku Nawal.

Dan perbedaan mencolok dari buku Muhiddin dan buku ini adalah, jika buku 1 lebih bersifat paparan hasil riset, maka buku ini pyur dipenuhi konflik psikologis, suara hati dan umpatan penuh tekanan si tokoh utama, Firdaus. Penulis seolah ingin menembak otak Firdaus, dan menumpahkan seluruhnya dalam buku ini, termasuk pikiran terkejam yang dimiliki seorang perempuan, yang mungkin selama ini hanya rapi tersimpan dalam hati. Nawal seolah ingin berkata, sekaranglah saatnya perempuan menunjukkan taringnya, menunjukkan pribadi yang sebenar dan seharusnya, tanpa harus takut pada mahluk seperti apapun, termasuk laki-laki.

Kelemahan buku ini, karena terjemahan, maka ada beberapa kalimat yang terasa kurang enak jika dinikmati dalam edisi Indonesia. Tapi secara umum, sangat lumayan untuk bahan injeksi bahwa betapa perempuan itu, sebenarnya sangat berharga, dan tentu saja bebas berpikir secara merdeka.

--------------

Judul Buku: Bumi Manusia (Tetralogi 1 Buru)

Penulis: Pramudya Ananta Toer

Keterangan: Asli Indonesia

Setting lokasi: Surabaya

Amazing, luar biasa, menyesal buku sebagus ini baru sekarang membacainya. Bukan apa-apa, semasa kuliah, beberapa senior sudah menganjurkan, tapi baru kali ini kesempatan ada (maksudnya, baru punya uang untuk membelinya ;)). Dan, Bumi Manusia memang tak bisa dibandingkan dengan dua buku sebelumnya. Sedemikian bagusnya, sampai diperlukan list khusus untuk mencatat kelebihan buku ini :

1.Konsistensi Tokoh. Tokoh utama buku dan semua alur cerita ada pada Minke. Tapi, di samping Minke, Pram juga menyodorkan tokoh-tokoh lain yang karakternya tidak kalah kuat, Nyai Ontosoroh, Annelies, Darsam, Dokter Martinet dan masih banyak lagi. Satu sama lain tokoh memiliki karakter sangat hidup, kuat sekaligus berbeda, satu sama lain muncul bergantian dengan konsistensi ketokohan melekat erat pada mereka. Dan itu semua bukan hal yang mudah, butuh kejelian dan ketelitian yang luar biasa untuk menciptakannya. Begitu kuatnya karakter setiap tokoh, sampai dengan membaca sebuah kalimat saja, seolah pembaca langsung bisa menebak siapa tokoh yang sedang berbicara.

2.Dalam roman ini, Pram mengunakan alur maju mundur. Biasanya, jika tidak berhati-hati, penggunaan alur ini dapat menyebabkan pembaca bingung, nyatanya hal ini tidak berlaku pada Pram. Malah alur ini membuat pembaca seolah sedang membaca buku 3 dimensi, pembaca benar-benar terasa larut dalam cerita, buku ini benar-benar terasa nyata. Agar pembaca tidak bingung, Pram mengunci alur dengan tokoh Minke, Minke menjelma menjadi sosok yang menceritakan hidupnya sendiri sekaligus sosok yang menceritakan kehidupan orang lain.

3.Setiap akibat pasti ada sebab, setiap kelahiran pasti memiliki rahim, demikian pula buku, dia tidak akan ada tanpa di latarbelakangi pengetahuan penulis. Tentu saja kelahiran buku berkualitas tidak hanya membutuhkan pengetahuan, lebih dari itu, dibutuhkan riset. Saya yakin kelahiran Bumi Manusia juga berasal dari in depth research. Tapi satu lagi kelebihan Pram, dia dengan cerdas memaparkan penelitiannya dengan sangat halus, menyatu dengan karakter tokoh hingga pembaca tidak mampu membedakan apakah itu memang benar-benar hasil riset atau memang murni berasal dari kejeniusan penulis.Dibawah ini barangkali beberapa hal yang ‘mungkin’ dianggap hasil riset itu :Setting waktu abad 19 konsep berpikir Eropa (totok, Indo) dan pribumi pemahaman kejiwaan dan psikologis (tokoh Ann dan dokter martinet) Pemahaman karakter perempuan yang keras, mandiri dan tak terpatahkan (Nyai Ontosoroh)

4.Pembaca juga akan dimanjakan kalimat-kalimat mutiara yang demikian bijaksana,yang bahkan, sering dengan bangga menjadi bahan kutipan para penulis lain

5.Ide buku ini tentang seorang anak laki-laki yang beranjak dewasa, yang sangat membela ke-pribumian-nya, namunterpaksa harus mengalami berbagai paradoks hidup karena ternyata disamping dia tidak tahu apa-apa dengan adat istiadatnya, juga karena Eropa yang sangat dia banggakan keilmuannya, malah menjadi mahluk pertama yang menginjak harga diri dan orang-orang yang dicintainya. sebuah ide yang rumit, namun oleh Pram dikemas sedemikian cantik dan menarik.

Kelemahan ? karena buku ini ditulis di era 70 an, beberapa kalimatnya sudah jarang / tidak pernah lagi digunakan, sehingga terasa asing dan sedikit mengganggu. Tapi sungguh, semuanya tertutupi dengan kecantikan Annelies yang agung, berkulit halus dan cemerlang, memiliki mata berkilau seperti sepasang kejora dan senyum yang meruntuhkan iman.

Ps : minta kritikan atas tulisan…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun