Sudah hampir 10 tahun Meira merantau. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh hingga dewasa di ibukota, Meira merasakan kebutuhan untuk keluar dari kampung halamannya. Beruntung, suaminya setuju dan sampailah mereka di sebuah daerah di Indonesia Tengah.
Daerah di sebuah kabupaten muda penghasil tambang yang memiliki potensi wisata tak kalah hebat dari Lombok maupun Bali. Di sini tak akan kau jumpai kemacetan khas kota, bahkan lampu lalu lintas seringkali bak pemanis ruas jalan semata. Di mana teknologi ditandai dengan saling silang kabel jaringan wifi melintang di atas kepala kuda yang menarik delman sepanjang pagi saat orang-orang pergi dan pulang dari pasar. Kota kabupaten yang seluruh penduduknya demikian mandiri dalam bertransportasi sehingga tak butuh kehadiran angkutan umum karena jarak dekat bisa dicapai dengan sepeda motor berbagai merk dan varian terbaru.
Semua orang, tua muda, laki perempuan, lansia anak-anak, terlihat berseliweran mengendarai sepeda motor. Kota dengan deretan pohon mangga sepanjang jalan dan kebun-kebun jati di antara naik turun jalan berkelok melintasi perbukitannya. Daerah yang anak mudanya mendapat prioritas saat mengajukan beasiswa kuliah di luar negeri dengan kategori daerah 3T, terluar, terdepan dan tertinggal. Kehidupan di daerah 3T sungguh jauh berbeda dengan kehidupan di ibukota. Waktu benar-benar kita miliki di sini.
Jika berjam-jam kau biasa habiskan di jalanan kota besar untuk pergi ke tempat kerja di pagi hari, di sini Meira hanya butuh kurang dari 1 jam untuk jarak 40 km tanpa macet sama sekali. Ya mungkin sesekali Meira hanya butuh memperlambat laju kendaraan karena ada serombongan kuda, kerbau atau sapi yang menyeberang jalan atau dokar yang melaju lamban di depan kendaraannya. Uniknya, semakin banyak nuansa yang melingkupi daerah ini, semakin Meira kerasan tinggal di sana.
Nuansa Pertama
Jika di ibukota kau ingin menikmati 1 hari pada akhir pekan di tepi pantai, pilihannya adalah pantai berpasir hitam dengan kerelaan berbagi lahan berpasir dengan berpuluh-puluh orang lainnya dengan tujuan serupa. Atau pantai di gugusan Kepulauan Seribu yang butuh waktu tempuh sendiri. Sementara belasan pantai yang mengelilingi kabupaten ini dapat diakses hanya dalam perjalanan tak lebih dari 30 menit.
Pantai dengan semua deskripsi yang menyenangkan; pantai yang landai, bersih, berpasir putih, sepi dan gratis. Pantai yang berbingkai gemawan megah putih berarak berlatar langit biru yang cerah karena matahari bersinar dengan teriknya. Anak-anak dapat dengan puasnya bermain pasir dalam artian mereka duduk menjeplak dalam area luas yang bebas berjarak dengan pengunjung lain, berbekal sekop dan ember memuaskan imajinasi dengan beragam imajinasi dari pasir. Bosan dengan pasir, mereka bisa berkejaran, bermain bola, memungut pecahan  karang atau kerang untuk dilempar kembali ke laut atau dibawa pulang. Berenang atau sekedar bermain air juga tak kalah nikmatnya.
Beberapa pantai sangat terkenal di kalangan wisatawan mancanegara dan selalu dituju karena karakteristik ombak tinggi yang menyenangkan untuk kegiatan berselancar.
Nuansa Kedua
Hal berikutnya yang menjadi kekhasan daerah setelah keindahannya adalah mahalnya bahan makanan dan produk sandang. Letak kabupaten ini yang jauh dari ibukota menjadikan barang butuh waktu lebih lama untuk tersedia. Pun jika tersedia, harganya tak terbayangkan oleh penduduk kota besar. Terutama barang sandang, harga yang ditawarkan adalah harga beli plus ongkos kirim yang tinggi. Memang, tidak semahal barang di Papua, namun cukup membuat Meira geleng-geleng kepala.
Sejak hampir 4 tahun terakhir Meira menjalankan usaha toko bahan kue. Meira membuktikan sendiri harga barang di daerah ini menjadi sangat tinggi lantaran letak geografisnya yang menuntut ongkos kirim tinggi. Barang dengan kualitas bagus di kota besar dan berharga cukup terjangkau butuh ongkos kirim sekitar 40 ribuan perkilo untuk tiba di sini. Sehingga harga jual kembali tak akan lagi terdengar manis bahkan di telinga Meira sendiri.