Aku lahir di ibukota. Anak Betawi, begitu istilah yang biasa disematkan kepadaku. Sebagai anak Betawi, aku tak sekaya Munirih yang mewarisi berpuluh-puluh sapi perah dari babanya. Aku juga tidak seperti Saenah yang meneruskan bisnis kontrakan 57 pintu milik enyaknya. Aku hanya mewarisi semangat menuntut ilmu dari bapak dan mental kaya dari ibu.Â
Aku tumbuh di sebuah kampung daerah Tanah Abang yang ramai sepanjang tahun. Ramai karena memang aku tinggal di kawasan perumahan rakyat tradisional yang warganya merupakan penduduk yang sudah menempati daerah tersebut berpuluh tahun lamanya, mulai dari sang buyut hingga sang cicit. Yang sangat menarik dari kampungku adalah warganya yang seperti Indonesia mini.
Tetanggaku sebelah kiri persis adalah keluarga pak Guan yang Tionghoa. Setiap jelang Natal, aku paling suka melewati rumahnya dan berusaha menatap selama mungkin pohon terang yang terlihat jelas dari pintu rumah  yang terbuka. Keluarga Shahri yang bersuku Sunda tinggal di rumah sebelah kiri. Tiga anak gadisnya menganggapku dan adik-adik bagai adik mereka sendiri. Masjid Hasbiyallah terletak persis di depan rumah. Sebelah utara masjid ada rumah Haji Basalamah yang keturunan Arab.Â
Dengan tampilan khas kumis baplang dan suara keras, ia suka mengajak bapak berangkat ke masjid untuk sholat Tarawih. Dua warung kelontong andalan ada di barat dan timur, milik Ci A Nyan dan Koh A Beng. Aku sering diminta ibu membeli kebutuhan sehari-hari di warung Ci A Nyan. Harganya murah dan hampir semua barang ada di sana.Â
Anak-anak keluarga Jawa dan Padang tak lepas meramaikan suasana keseharian kami. Merla sering ledek-meledek  dengan panggilan "Jawa kowek" atau "Padang pelit". Tak pernah satu kalipun aku dengar ada keributan serius tentang olok-olokan itu. Sungguh aku bangga lahir dan besar di sana.Â
Suku Betawi yang tinggal di kampungku biasanya berkerabat denganku, saudara dekat maupun jauh. Abang Togar yang bersuku Batak melengkapi kebinekaan kampungku. Â
Ia andalan kami menjelang acara panggung peringatan tujuhbelasan. Suaranya yang merdu dan permainan gitarnya mengantarkannya menjadi pelatih tetap vocal group anak dan remaja. Ketelatenannya melatih benar-benar menjadikannya pelatih yang andal.
Setiap hari raya Natal dan Idul Fitri kami saling mengirimkan hidangan istimewa untuk dinikmati oleh tetangga. Prinsip berbagi kebahagiaan hari raya terasa benar dan sangat membekas hingga aku dewasa kelak. Kampungku terasa ramai juga karena untuk penduduk sebanyak itu, daerah yang ditempati tidaklah luas.Â
Rumah-rumah terletak berdekatan dipisahkan jalan yang hanya cukup untuk dilalui 2 sepeda motor di dua arah berlawanan. Kampungku terasa ramai juga karena letaknya sangat dekat dengan sentra bisnis Pasar Tanah Abang sehingga lalu lintas yang melingkupi kampungku adalah lalu lintas yang sangat terpengaruh oleh peak season Tanah Abang dan geliatnya sepanjang tahun.Â
Lagi pula mana ada low season untuk Tanah Abang? Sentra bisnis pakaian menggeliat sejak pagi hingga malam. Perputaran barang dan uang super dahsyat aku saksikan sejak masih balita.Â
Beberapa tetanggaku merupakan pedagang di Pasar Tanah Abang. Ada ibu Marajo pedagang mukena khas Bukittinggi, ada juga Mang Husen yang biasa mengkreditkan pakaian yang diambilnya dari pedagang di Pasar Tanah Abang untuk dijual ke kampung-kampung.