Jika tidak berhasil menangkapnya maka kalah dan digantikan pemain lain.
Permainan ini memiliki arti filosofis sendiri, bagiku selaku umat Islam aku memandangnya sebagai perwujudan dari rukun Islam. Pengambilan kempyeng pertama diibaratkan rukun pertama, yakni syahadat. Sebuah persaksian yang setelahnya umat Islam baru diperkenankan melakukan empat rukun lainnya.Â
Jika belum mengambil satu kempyeng yang dianalogikan sebagai syahadat maka belum bisa melakukan rukun lain dan melanjutkan permainan.  Berbeda dengan umat agama lain mereka tidak syahadat, namun mereka tetap bisa berzakat dengan bentuk lain atau bersedekah tanpa syahadat dahulu. Begitu bedanya, itu jika dilihat dari segi jumlah.
Jika dilihat dari segi persaingan, biasanya yang diambil pertama adalah kempyeng yang letaknya berjauhan atau sekiranya sulit dijangkau empat kempyeng lain, oleh sebab itu diambil. Agar empat kempyeng tersisa dengan mudah bisa dislentik. Ini menggambarkan bahwa dalam kehidupan keadaan yang sulit jika berhasil disingkarkan niscaya kemudahan akan mudah didapatkan.Â
Selain itu, satu kempyeng yang dislentik dan mengenai satu kempyeng lain itu menggambarkan sebuah pertemuan dengan lantaran hal pengantar kemudahan. Jika manusia berhasil menemukan tempat sandaran, tempat meluapkan semua gundah maka semua akan berhasil dilewati dan kemudahan akan didapat. Entah itu bisa dengan teman, keluarga, atau Tuhan.
Lalu kempyeng yang sebelum digunakan mengapa permukaannya dibuat rata seperti lempengan? Ini adalah wujud dari kelapangan hati dalam menjalani segala liku dan jalan kehidupan. Tanpa kebersediaan hati yang lapang semua akan sulit, banyak mengeluh dan sedikit bersyukur.
Proses pelemparan kempyeng ke atas bisa dikatakan dengan wujud ujian hidup, barang siapa yang berhasil dia akan mendapat balasan dan imbalan yang sesuai. Bukan perihal nominal namun kepuasan dan keikhlasan hati seberapa besar ia mau menerima.
Jika dilihat permainan itu sederhana saja, seperti tidak mengandung nilai pembelajaran hidup. Namun jika dicermati dan direnungi lebih lanjut di dalamnya ternyata menyimpan nilai-nilai hidup yang sangat berharga.
Kadang manusia menganggap suatu hal kecil sebagai hal biasa saja, keadaan sering menjadikan manusia lupa bahwasannya justru hal kecil ia menyimpan nilai tersendiri, sangat unik dan berbeda.
Jika anak-anak zaman sekarang tidak mengenal permaian tersebut maka mereka tak bisa disalahkan sepenuhnya. Bisa saja orang tua mereka lupa dan anak-anak selalu disibukkan permainan lain yang serba digital. Tak perlu saling menyalahkan yang penting bagaimana nilai-nilai filosofis tersebut sampai dan tertanam di benak mereka.
Hal yang cukup disayangkan adalah hilangnya permainan tersebut dari peredaran anak-anak masa kini. Sehingga banyak yang tidak tahu dan tidak mengenalnya bahkan dirasa sangat asing.