Dengan santai dia menjawab tidak apa-apa, toh ia hanya mengambil sedikit saja.
Suatu ketika ketika, seperti biasanya sepulang sekolah sekadar iseng mengintip sumur tersebut aku melihat ada beberapa keris yang terdapat di dalamnya, keris dengan tubuh lenggak-lenggok. Melihat hal tersebut aku bertanya pada Kakek, mengapa ada keris di dalam sumur itu?
Kata kakek, memang di dalam sumur tersebut ada banyak uang receh, beberapa keris, dari yang model lurus lancip seperti biasanya ada juga yang berlenggok seperti yang kulihat tadi. Keris itu sengaja diceburkan ke sana, katanya untuk memberi sedekah pada penunggu sumur, seperti yang kukatakan di atas. Biasanya seseorang menceburkan keris ke sana dia memiliki banyak pusaka. Jadi, tidak heran jika dia merelakan satu pusaka saja untuk dimasukkan ke sana.
Terlepas dari syirik atau tidak, aku menilai sebuah kepercayaan  mereka terhadap ucapan orang tua atau sesepuh mereka begitu kuat. Meskipun terkait hal tersebut  yang pada zaman ini dianggap sebagai mitos dan tidak masuk akal. Ini adalah bagian dari sebuah kebudayaan yang masih ditempeli kepercayaan Animisme, Dinamisme. Mereka muslim, mereka beriman pada Tuhan Yang Esa dan mereka tetap menghormati sebuah budaya. Memang tidak bisa serta-merta menghapus kebiasaan tersebut, karena melihat lahirnya agama di Indonesia. Masyarakat Jawa khususnya, dulu  diawali dengan kepercayaan animisme dinamisme, yang kemudian memeluk Hindu Budha atau Islam juga masih dibayangi sedikit sisa kepercayaan nenek moyang dahuluu, terlebih para sesepuhnya.
Lalu bagaimana dengan keadaan sumur tersebut saat ini? Terakhir aku melewatinya tiga bulan lalu. Sungguh terjadi perubahan drastis. Jika dulu di sekelilingnya banya pepohonan, semak, dan sebuah pohon beringin besar. Maka kini aku tidak menjumpainya lagi. Semak belukar sudah dibabat habis, digunakan untuk memperluas gedung sekolah Taman Kanak-kanak. Begitu juga dengan pohon beringin. Jika dulu terkesan ada rasa magis maka kini perasaan tersebut sepertinya sudah hilang.Â
Yang masih tersisa hanya sebatas cerita dari mulut orang tua dan sebagai bukti hanya melihat sumur tersebut. Apabila ingin membakar kemenyan atau memberi sesaji tetap dilakukan di sudut sumur tersebut, di atas meja batu.
Sampai sejauh ini, tidak ada kasus sumur itu memakan korban, entah gara-gara tercebur atau bagaimana. Bahkan saya sempat berpikir bagaimana jika masyarakat menghilangkan semua kebiasaan tersebut?
Sayangnya hingga sampai sekarang masyarakat masih memegang budaya itu dan tak pernah meninggalkannya.Â
Lalu bagaimana dengan sumur satunya?
Sumur sendhang masih tetap ada dan sampai sekarang jika ada masyarakat yang akan menggelar hajat, sebelumnya harus sudah membakar kemenyan di sana dan memberi sedikit sesaji.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H