Di aspek pekerjaan kita kebanyakan stereotip yang disematkan kepada laki laki cenderung positif, katanya laki laki itu lebih tegas, lebih bisa rasional dalam berpikir, lebih bermain logis, dan bisa membuat keputusan yang tepat. Nah hal ini yang secara umum membuat banyak industri dan profesi didominasi oleh laki laki dan karena itu perempuan jadi makin sulit untuk bisa excellent di karir mereka.
Di dunia cuma ada 38,8% perempuan yang ambil bagian tenaga kerja. Di Indonesia sendiri enggak beda jauh, cuma 39,3% dan pekerjaan yang diperankan perempuan lebih ke profesi yang membutuhkan sifat-sifat yang diasosiasikan dengan femininity, lagi lagi ini stereotip, misalnya katanya perempuan bisa mengasuh, lebih bisa berempati, bisa berkomunikasi dan ramah.
Jadi pekerjaan seperti perawat, guru SD dan SMP lalu pekerja sosial itu banyak dilakukan oleh perempuan. Di Eropa segregasi profesi ini juga ada, di Jerman 69% laki-laki yang bekerja dan 70% kolega kerjanya adalah laki laki juga.
- Pengalaman Wanita di Dunia Kerja
Banyak sekali orang yang membahas soal pengalaman tidak menyenangkan perempuan di tempat kerja mereka, terutama ketika mereka bekerja di male dominated industri, misalnya mereka mengalami pelecehan seksual, seksisme, mereka diragukan kemampuannya secara profesional, tidak dianggap serius atau didengar, mereka dianggap tidak bisa menjadi pemimpin, lalu kerja keras mereka juga tidak diapresiasi.
Hambatan lain yang membuat perempuan harus struggling di bidang pekerjaan adalah mereka sering terbentur glass ceiling, menurut Merriam-Webster (sebuah perusahaan Amerika Serikat yang menerbitkan buku referensi, khususnya kamus) glass ceiling adalah penghalang tidak berwujud dari suatu hirarki yang mencegah perempuan atau minoritas memperoleh posisi tingkat atas. Istilah Ini pertama kali diciptakan oleh Marilyn Monroe di tahun 1978. Glass ceiling ini tidak terlihat tetapi terjadi, conothnya di sebuah perusahaan laki-laki lebih mudah untuk dipekerjakan dua kali dibandingkan perempuan, lalu laki-laki juga punya kesempatan 30% lebih banyak untuk mencapai posisi manajer daripada perempuan. Misalnya di industri teknologi ketika perempuan memulai karir sebagai software engineer tidak jarang kemudian mereka akan diberikan role yang lain, misalnya untuk billing sama karyawan atau sama klien yang secara stereotip memang lebih cocok diposisikan oleh perempuan. Alhasil skill mereka tidak bisa berkembang.
Karena glass ceiling ini, jumlah perempuan biasanya hanya sedikit yang berada diposisi eksekutif. Diantara perusahaan yang ada didaftar SMP five hundred, hanya 29 perempuan yang menjadi CEO dan fenomena ini bahkan terjadi di area yang kita anggap cewek banget, seperti di fashion industry hanya ada 14% brand besar yang dipimpin oleh perempuan, begitu juga dengan personal care beauty industri yang konsumennya mostly perempuan, lalu barang-barangnya pun kebanyakan ditargetkan untuk perempuan, tapi yang jadi pemimpin tetap adalah laki laki. Pekerja perempuannya ada, hanya makin tinggi levelnya, makin tinggi jabatannya jumlahnya makin sedikit.Â
Alasan terjadi glass ceiling ini selain karena gender bias, stereotip dan juga diskriminasi adalah karena perempuan harus cuti hamil dan tanggung jawab merawat anak. Begitu juga dengan pekerjaan domestik mostly masih dibebankan ke perempuan, seakan-akan menjadi perempuan itu harus memilih menjadi ibu, istri atau wanita karir. Sementara pertanyaan tersebut tidak dilayangkan kepada laki laki. Akhirnya mereka yang perempuan harus memilih pekerjaan yang fleksibel, harus memilih role di kantor yang bisa memungkinkan dia untuk juggling antara mengurus rumah, mengurus anak dan kerja makanya karirnya susah naik. Kesulitan meniti karir juga disebabkan oleh kurangnya bimbingan dari supervisor, biasanya posisi posisi itu dimiliki oleh laki laki, jadi susah untuk perempuan membuat diperconnection dengan supervisornya karena terbentur perbedaan ini. Padahal dekat dengan atasan itu adalah salah satu faktor penting jika mau dapat promotsi jabatan.
- Pengalaman Pria di Tempat Kerja yang Didominasi Perempuan
Di zaman sekarang mulai bermunculan cowok-cowok yang melakukan pink colour jobs atau pekerjaannya perempuan, regardless stereotype yang ada. Tapi berbeda dengan perempuan yang seringkali menabrak glass ceiling, ketika situasi ini dibalik secara umum si laki-laki itu tidak mengalami kesulitan seburuk perempuan. Malahan menurut Christine L. William laki-laki cenderung mendapatkan keuntungan ketika berada di industri yang banyak perempuannya, seperti lebih gampang naik pangkat dan juga mendapat gaji lebih banyak, dia menyebut fenomena ini sebagai glass escalator.
Kenapa? Lagi-lagi alasannya karena seksisme. Pria dianggap lebih mampu dan menyianyiakan kapabilitasnya jika dia hanya stuck di jabatan yang seperti kolega-kolega ceweknya. Berbeda dengan pengalaman perempuan, laki-laki biasanya mendapatkan sambutan hangat ketika dia memasuki profesi perempuan. Hal itu mungkin karena jarang ada cowok dan karena prestise dan bayaran profesi tersebut akan naik kalau di isi oleh laki-laki.Â
Laki laki juga dianggap lebih mudah untuk membuat hubungan dengan kolega kerja, dia mendapatkan mentor laki-laki juga, tidak di excluded dari social network dan itu semua kemudian memberikan sense of belonging yang lebih tinggi. Di industri industri yang pernah disebutkan sebelumnya, fenomena glasses letter ini juga terjadi. Di tech industri khususnya di perusahaan perusahaan di Silicon Valley pria punya kesempatan 2,7 kali lebih tinggi dari pada perempuan untuk naik jabatan seperti menjadi engineering manager atau vice president. Di fashion industri juga begitu, bahkan pria pria tersebut tidak meminta promotion tapi tetap diberikan. Jika di Western Society konsep glasses letter ini dikhususkan untuk laki laki kulit putih, cisgender dan heteroseksual.