“Iseng Main Api Berbuntut Bencana” Judul yang kurang tepat menurut saya (seorang Ida Raihan yang bukan siapa-siapa). Mengapa? Karena mereka (dua TKI yang mengalami nasib kurang berntung di Arab) melakukan itu bukan sekadar iseng. Malainkan karena ingin menambah kehangatan untuk tubuh mereka yang merasakan dingin di udara PEA (Persatuan Emirat Arab).
Adalah Lyla, warga Cianjur yang bekerja di PEA yang harus mananggung diyat (denda) sebesar 50.000 Dirham (setara Rp 170.000.000) di tahun 2012 akhir. Lyla dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindakan yang menyebabkan kematian pada teman kerjanya yang tinggal satu kamar dengannya di rumah majikan.
Berawal dari sebuah pesta barbeque yang diadakan di rumah majikan, Lyla dan Raisa (dua TKI yang sama-sama dari Cianjur) menyimpan sisa arang bekas pembakaran di kamar mereka, dengan tujuan untuk menambah kehangatan tubuh. Namun naas, keduanya yang tidak tahu menahu bahayanya arang tertidur pulas dengan jendela dan pintu yang tertutup rapat. Sehingga keduanya harus dilarikan ke rumah sakit karena menghirup terlalu banyak gas karbon monoksida sepanjang malam. Apesnya, nyawa Raisa tidak tertolong. Sedangkan Lyla harus menjalani perawatan selama tiga minggu.
Setelah sembuh, Lyla harus menjalani pemeriksaan secara hukum dan dinyatakan bersalah. Dan denda diberlakukan terhadapnya. Sungguh pedih sekali membaca berita ini di majalah Peduli keluaran Kemenlu edisi Desember 2014 itu.
Menurut hemat saya, Lyla tidak mungkin menyimpan arang di kamarnya jika Raisa juga tidak setuju dengannya. Mereka pasti melakukan kesepakatan sebelumnya, karena mereka adalah sahabat yang sudah klop (istilah penulis di majalah Peduli). Namun sayang, meskipun sudah beberapa kali melakukan lobi, Alisia, putri dari Raisa ternyata tidak bisa memaafkan, meskipun KBRI telah berupaya mengexplorasi segala kemungkinan untuk meringankan hukuman Lyla. Termasuk memintakan maaf kepada keluarga Raisa. Sungguh miris.
Saya menulis ini bukan untuk membela salah satu dari mereka. Saya hanya mengutarakan kepedihan saya, terhadap Lyla yang harus menanggung beban berat untuk sebuah kesalahan yang tidak disengajanya itu. Sebagai TKI, Lyla termasuk warga Indonesia yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas. Ayahnya yang sebagai kuli bangunan hanya peroleh Rp 50.000/minggu. Selama itu, keluarga Lyla menggantungkan kebutuhan hidup di tangan Lyla. Lalu bagaimana Lyla harus membayar diyat sebesar itu?
Saya juga tidak menyalahkan Alisia, yang terluka atas kepergian ibunya. Siapapun pasti akan merasa pedih jika ditinggalkan keluarga yang paling dicintainya. Apalagi penyebabnya adalah keteledoran orang lain. Selain itu, kepergian Raisa ke luar negeri juga, demi putri tercintanya. Alisia.
Sebuah maaf, memanglah sangat mahal.
Semoga Alisia dan keluarga Raisa lainnya diberi ketabahan. Dan Lyla yang masih tinggal di penampungan Abu Dhabi (perdesember 2014 menurut majalah Peduli), segera bisa terkabul keinginannya untuk bisa berkumpul dengan keluarganya kembali di tanah air.
Ida Raihan Sizuka
Restorant Bumbu Desa – Cikini, Rabu, 28 Januari 2015 (11:35)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H