Mohon tunggu...
Ida Puji
Ida Puji Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menyuarakan pikiran dengan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Menimba Ilmu dari Negeri Paman Sam (Kota yang Ramah Bagi Difabel)

9 Juni 2012   16:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:11 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13392834001936337590

[caption id="attachment_193718" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Selama 23 hari berada di Eugene, Oregon, Amerika Serikat ada bayak manfaat yang dapat saya petik. Bersama dengan 29 perempuan difabel yang berasal dari 29 negara kami berbagi pengalaman serta belajar mengenai hal-hal baru dari negara maju seperti Amerika Serikat. Eugene merupakan kota terbesar kedua di negara bagian Oregon setelah Portland. Eugene juga merupakan kota yang aksesibel bagi difabel. Semua jenis bangunan dan fasilitas umun di kota tersebut memperhatikan kebutuhan difabel dan kelompom rentan. Hal tersebut terlihat diantaranya adalah: tempat parkir khusus difabel di tempat parkir umum, setiap trotoar pasti memiliki ramp, setiap bangunan bertingkat dilengkapi dengan lift khusus bagi difabel dengan tombol-tombol yang aksesibel, kendaraan umum (bus) yang aksesibel, penyeberangan jalan yang aksesibel, dll. Selain bangunan fisik yang aksesibel, kota ini juga memiliki fasilitas lain yang ramah bagi difabel. Ada beberapa hal penting yang saya catat bisa diterapkan di Indonesia untuk masa yang akan datang. Beberapa hal itu mencakup: 1.  Sarana transportasi umum Eugene memiliki sebuah sistem transportasi umum yang bernama Lane Transit District yang biasa disebut LTD bus atau cukup LTD. LTD merupakan alat transportasi yang akan kami gunakan selama mengikuti kegiatan di sini. LTD merupakan sebuah sistem transportasi yang 100% aksesibel bagi difabel. Semua jenis difabilitas mampu mengakses alat transportasi ini dengan aman dan nyaman. Direktur LTD (yang adalah seorang perempuan) yang memaparkan bagaimana cara kerja LTD dan bagaimana mereka bisa mencapai sistem yang 100% aksesibel. Mereka juga membawa sabuah bus dan salah satu pengemudinya untuk menunjukkan pada kami secara langsung bagaimana bus tersebut bekerja sehingga kami mudah untuk mengaksesnya. Setiap bus LTD memiliki 2 tempat khusus di bagian depan dengan kursi yang bisa dilipat sehingga kursi roda bisa masuk. Area ini memiliki sabuk pengaman yang menjamin keselamatan pemakai kursi roda selama dalam perjalanan. Biasanya pengemudi bus akan memastikan kursi roda terpasang di tempatnya dengan aman dan nyaman sebelum menjalankan kendaraannya. Bus juga bisa dinaik-turunkan sehingga memudahkan penumpang untuk masuk ke dalamnya. Selain itu bus juga memiliki ramp di pintu bagian depan yang membuat pemakai kursi roda mampu naik bus tanpa bantuan dari orang lain. Selama pengalaman saya naik bus LTD, baik pengemudi maupun sesama penumpang akan dengan senang hati untuk menawarkan bantuan terhadap difabel jika memang dibutuhkan. Biasanya setiap difabel dipastikan masuk ke bus dan duduk dengan nyaman sebelum penumpang lain masuk. Kemudian di sepanjang kursi depan terdapat tanda peringatan bahwa area ini diprioritaskan bagi penumpang difabel dan orang tua. Biasanya area ini sengaja dikosongkan, atau ketika ada penumpang difabel/orang tua maka tanpa diminta penumpang non difabel/orang tua akan pindah dan memberikan tempatnya. Untuk naik ataupun turun bus, ada bus stop khusus. Setiap bus stop dilengkapi dengan nomor tertentu yang mengindikasikan nomor yang menjadi rute bus. Ketika ada orang yang berada di depan halte otomatis pengemudi bus dengan nomor yang sesuai akan berhenti. Untuk turun dari bus penumpang tinggal menarik panel atau menekan tombol yang berada di dekat jendela di sisi samping kanan kiri bus. Jika tombol berbunyi maka pengemudi akan berhenti pada bus stop di depannya. 2.  Pendidikan inklusi Diketahui bahwa di Amerika berhasilnya petisi 504 membuat pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan difabel mendapatkan haknya, termasuk hak pendidikan. Seorang anak difabel tidak boleh dimasukkan ke dalam sekolah khusus. Untuk itu pemerintah menyediakan dana khusus untuk memenuhi kebutuhan anak difabel tersebut selama di sekolah, seperti menyediakan penterjemah bahasa isyarat bagi siswa tuna rungu, menyediakan buku dengan huruf braile bagi siswa tuna netra, serta menyediakan gedung yang aksesible bagi difabel. Hal yang membuat saya dan beberapa rekan agak heran adalah, di sana semua jenis difabilitas mampu dilayani dengan baik di sekolah-sekolah umum. Beberapa hal memang perlu dilakukan supaya adanya siswa difabel di dalam kelas tidak mengganggu proses pembelajaran di kelas, dan siswa difabel merasa nyaman seperti siswa lainnya yang non difabel. Beberapa hal yang dilakukan antara lain mempersiapkan siswa tuna rungu 15 menit sebelum pelajaran dimulai bersama dengan penterjemah bahasa isyarat yang mendampinginya. Selain itu ada pelatihan bagi pengajar untuk berperspektif terhadap difabel. Pelatihan ini diadakan secara berkala sehingga setiap pengajar memiliki kemampuan untuk menangani setiap siswa difabel yang berada di kelasnya. Pengajar yang berperspektif difabel memegang kunci penting bagi keberhasilan pendidikan bagi siswa difabel. Dari pengajar inilah lingkungan kondusif bagi pendidikan difabel bisa diciptakan. Adanya kesadaran bagi siswa lainnya yang non difabel, siswa difabel bisa diterima dengan baik di kelasnya. Selain menghimpun kesadaran dari siswa non-difabel, pengajar juga berkewajiban menghimpun kesadaran dari keluarga terutama keluarga dari siswa difabel. Dengan adanya kesadaran di lingkungan difabel inilah maka pendidikan inklusi berhasil diwujudkan. * Petisi 504 adalah sebuah tonggak suksesnya pergerakan difabel di Amerika Serikat dalam memperjuangkan haknya. Semenjak petisi ini disyahkan oleh pemerintah, hak-hak difabel diakui dan mendapat jaminan dari negara 3.  Penyediaan lapangan pekerjaan bagi difabel Selama berada di sana saya sempat bertemu dan menanyakan banyak hal pada 2 orang yang memiliki multiple difabilitas namun mampu bekerja. a.   Sam Sam adalah seorang penderita celebral palsy. Sehari-hari dia hanya bisa duduk di kursi roda dan sulit untuk melakukan kegiatan lain. Sam bekerja untk menghancurkan dokumen kantor yang sudah tidak terpakai. Sam pergi ke kantor-kantor yang membutuhkan tenaganya. Sam memiliki seorang PA (personal assistant) yang membantu membawanya pergi ke kantor-kantor tersebut dan membantunya memasukkan dokumen ke mesin penghancur kertas. Sam dibayar per jam dengan upah minimal yang berlaku di negara bagian tersebut dan bekerja sesuai dengan kemampuannya. Jika dalam sehari dia hanya bisa bekerja 3 jam maka Sam hanya akan bekerja selama 3 jam perhari. b.  Tom Tom juga seorang penyandang multiple disabilitas. Sehari-harinya Tom memakai kursi roda elektrik. Tom adalah seorang agen penjualan online. Tom bisa bekerja dari rumah menggunakan fasilitas internet. Sama seperti Sam Tom juga memiliki PA. Tom dibayar berdasarkan komisi dari penjualan yang dapat dia lakukan. Catatan: seorang PA penyandang multiple disabilitas biasanya juga seorang difabel. Mereka bekerja dan dibayar untuk sebagai seorang PA. Ada sebuah organisasi di Amerika yang khusus mencarikan dana untuk membayar PA tersebut. Selain Tom dan Sam saya juga sempat bertemu dengan Felicia. Felicia adalah seorang pengguna kursi roda elektrik, tidak seperti Sam dan Tom Felicia tidak memerlukan PA dalam menjalani pekerjaannya. Felicia bekerja pada LTD sebagai pemberi arahan penumpang. Sehari-harinya dia berkeliling stasiun untuk memberikan informasi kepada penumpang tentang system LTD bus. Kerja Felicia memudahkan penumpang lebih mudah menggunakan alat transportasi ini sehingga meningkatkan jumlah penumpang LTD bus. Selain Felicia TLD juga mempekerjakan difabel lain untuk posisi yang sama. 4.   Kesehatan bagi perempuan difabel dan upaya menghindari kekerasan terhadap perempuan difabel Saya dan rekan-rekan juga berkesempatan berdiskusi bersama beberapa orang narasumber tentang permasalahan seputar perempuan. Beberapa topik yang diangkat adalah seputar pengendalian kelahiran, kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan. Beberapa hal yang kadang dianggap tabu dibahas dalam sesi ini bersama narasumber yang merupakan praktisi berpengalaman dalam bidangnya. Perempuan difabel merupakan kelompok yang minim akses dan rentan terhadap kekerasan. Selama ini permasalahan seputar perempuan jarang diangkat ke permukaan. Jadi sesi ini menjadi kesempatan emas bagi kami perempuan difabel untuk bertanya dan bertukar pikiran. Selain itu kami belajar teknik self defence. Pada mulanya saya sempat berfikir teknik yang akan dibahas adalah dasar-dasar ilmu bela diri, rasanya akan sulit sekali difabel seperti kami mendalami teknik-teknik bela diri. Namun pada kenyataannya teknik bela diri yang dibahas dalam sesi ini bukan seperti apa yang saya bayangkan sebelumnya. Teknik-teknik sederhana yang sangat bermanfaat bagi kami. Beberapa teknik dasar yang diajarkan adalah bagaimana menghindari kekerasan menimpa diri kita, dan bagaimana melawan jika hal ini sampai terjadi. Hal dasar yang diperlukan untuk menghindari kekerasan menimpa kita adalah memperlihatkan sikap orang yang tidak mudah diserang. Diketahui bahwa pelaku tindak kekerasan memilih korban yang paling mudah diserang. Seseorang yang memiliki sikap tidak percaya diri, tunduk dan pasrah lebih mudah diserang dibandingkan orang yang bersikap penuh percaya diri dan tidak pasrah. Namun ketika penyerangan itu sampai terjadi, mengingat perempuan difabel sering dianggap lemah maka ada beberapa cara yang bisa dilakukan: Langkah pertama adalah dengan lantang mengatakan TIDAK, ketika seseorang datang dan mengganggu wilayah privacy kita, meskipun dengan cara yang baik namun kita kita tidak menyukainya tetap katakan TIDAK dengan lantang. Langkah kedua adalah menggunakan beberapa teknik dasar. Teknik dasar membela diri itu diantaranya adalah mengetahui tititk-titik tertentu di tubuh penyerang, yang ketika diserang akan berakibat fatal. Selain menggunakan tangan kosong kita juga menggunakan alat bantu yang kita miliki untuk menyerang seperti memukulkan kruk penyangga jalan (bagi penderita polio) atau menabrak kaki penyerang dengan kursi roda. Langkah ketiga adalah meminta bantuan. Jika kita dalam kesulitan dalam menghadapi situasi penyerangan, lebih baik meminta orang lain untuk membantu. 5.   Sarana rekreasi dan olahraga Selama berada di USA, kami diperkenalkan dengan beberapa sarana rekreasi dan olahraga yang aksesibel terhadap difabel. Tercatat ada 3 jenis kegiatan yang kami ikuti yaitu: berenang, rafting dan rope challenge. a.  Kolam renang yang aksesible bagi difabel Ada sesi dimana semua peserta WILD program beserta host family diajak untuk berenang bersama di sebuah kolam renang yang terletak sekitar 30 menit berkendara dari pusat kota Eugene. Kolam renang ini didesain mampu mengakomodir beberapa jenis disabilitas. Selain tangga, ada jalur khusus melandai seperti ramp di pinggir kolam sehingga kursi rod bisa masuk ke kolam. Selain itu, di kolam renang tersebut juga disediakan beberapa alat tambahan yang memungkinkan difabel berenang dengan aman. b.  Rafting di McKenzie River Rafting merupakan sebuah aktivitas menantang yang membutuhkan kondisi fisik prima. Hampir tak pernah terbayangkan di benak saya bahwa suatu hari saya akan dapat melakoni kegiatan satu ini. McKenzie River adalah sebuah sungai besar yang melintas di wilayah Oregon. Hulu sungai terletak di pegunungan yang sering kali tertutup salju membuat sungai ini berair sangat dingin. Saya sempat merasakan betapa dingin airnya karena di tengah perjalanan Jack -pemandu kegiatan rafting professional yang mendampingi kami- telah dengan sukses memprovokasi saya untuk menceburkan diri di sungai. Sarana rafting diubah sedemikian rupa sehingga aman bagi difabel untuk menaikinya. Beberapa perubahan tersebut di antaranya adalah pemasangan kursi tambahan pada perahu karet yang dipakai rafting. Dengan keamanan yang terjamin, melintasi sungai dengan arus deras di beberapa titik menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan. c.   Rope challenge Pada hari ketiga kegiatan kami dibawa ke sebuah hutan pinus untuk mengikuti salah satu kegiatan out door berupa rope challenge. Ini merupakan kegiatan semacam outbond. Rangkaian kegiatan yang harus kami ikuti di antaranya adalah adu melilitkan tali temali (teamwork), mempertahankan keseimbangan di atas balok kayu yang bisa berputar ke 3600 arah (teamwork) dan tantangan bergelayutan puluhan meter di atas tanah dengan hanya diikat tali (perorangan). Meski beberapa peserta ketakutan ketika harus bergelantungan puluhan meter di atas tanah, semuanya mampu mengikuti tantangan dengan baik dan aman. Demikian sekelumit cerita yang dapat saya bagikan berkaitan dengan kegiatan saya selama di USA. Satu hal menonjol yang saya lihat dari penduduk Amerika adalah betapa mereka menghormati hak-hak difabel, kesadaran itu terbentuk secara merata bukan hanya kesadaran parsial. Sesuatu yang sangat ingin saya temui di Indonesia. Saya masih memiliki harapan itu terwujud suatu hari nanti. Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun