Siang hari itu, seperti biasanya, aku tenggelam dalam kesibukan di kantor. Suara keyboard dan deru AC menjadi latar belakang yang konstan, hingga suara lain memecah kesunyian: ponselku berbunyi. Aku melirik layar. Nomor yang sama. Aku tahu siapa yang menelepon.
"Halo?" tanyaku lembut, meski sudah tahu jawabannya.
Di seberang sana, hanya ada jeda singkat sebelum suara itu terdengar. Dua kata sederhana, diucapkan dengan nada datar namun penuh makna. "Makan dulu."
Aku tersenyum. Ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan setiap kali mendengar suara itu. Suamiku. Ia memang tak pandai berkata-kata, tapi dua kata itu lebih dari cukup untuk menyampaikan semuanya. Perhatian, cinta, dan kebiasaan kecil yang selalu ia jaga meski jarak memisahkan kami.
"Iya, aku makan nanti. Terima kasih ya," jawabku sambil menahan haru. Namun sebelum sempat aku melanjutkan, panggilan itu sudah berakhir. Ia memang begitu, tidak suka berlama-lama di telepon.
Saat pertama kali ia melakukan ini, aku sempat merasa risih. "Kenapa sih harus telepon hanya untuk bilang makan dulu?" protesku suatu kali. Tapi ia hanya tertawa kecil dan berkata, "Karena aku ingin kamu sehat."
Hari-hari berlalu, dan panggilan singkat itu menjadi rutinitas. Namun, semakin sering ia melakukannya, semakin aku menyadari bahwa di balik dua kata itu ada sesuatu yang jauh lebih dalam. Aku tahu ia khawatir aku lupa makan di tengah kesibukan. Aku tahu ia ingin aku merasa diperhatikan, meski ia tak selalu ada di dekatku.
Hari ini, saat mendengar dua kata itu lagi, hatiku terasa berat. Ada rasa bersalah yang selama ini kupendam. Aku teringat pagi tadi, bagaimana aku tergesa-gesa pergi tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal dengan benar. Bahkan semalam, aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku hingga lupa menanyakan bagaimana harinya.
Aku menatap ponselku, terbayang wajahnya yang selalu tersenyum hangat setiap kali aku pulang. Rasanya ingin sekali aku meninggalkan semuanya dan berlari pulang, memeluknya erat sambil berkata, "Terima kasih untuk semuanya. Maafkan aku, suamiku."
Siang itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk lebih menghargai apa yang ia lakukan. Telepon singkat itu bukan sekadar pengingat untuk makan. Itu adalah bukti cinta dalam bentuk paling sederhana. Dan aku, yang selama ini sibuk dengan duniaku, hampir saja melewatkannya.
Saat aku pulang sore itu, ia sedang duduk di ruang keluarga, menonton televisi dengan wajah santai. Aku menghampirinya, memeluknya erat, dan berbisik, "Terima kasih sudah selalu peduli. Maaf kalau aku sering lupa untuk bilang ini, tapi aku benar-benar bersyukur punya kamu di hidupku."