Mohon tunggu...
Ida Nur Laila
Ida Nur Laila Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Konselor Senior di Jogja Family Center (JFC), Pengelola Balai Belajar Masyarakat (BBM), tinggal di pelosok kampung Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berpagi-pagi Menjemput Rezeki

14 September 2012   05:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:29 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1347600634692630915

[caption id="attachment_205705" align="aligncenter" width="177" caption="mbak sumi"][/caption]

SETIAP pagi, selesai adzan shubuh, suara berderak sapu lidi menyentuh tanah, adalah musik harianku.Bukan aku yang melakukannya, tetapi Sumi, tetangga depan rumahku.

Wanita sederhana usia 42 tahun itu selalu menyapu halaman rumahku, setiap pagi, hampir selalu. Mungkin dalam setahun ia hanya cuti melakukan aktivitas itu 3 atau 4 kali.

Aku pernah bertanya padanya, "Bagaimana mungkin kamu sudah memegang sapu, sedangkan jamaah sholat di masjid belum pulang?"

Saat itu aku pulang dari subuhan di masjid, dan ia telah menyelesaikan sebagian besar halaman rumahku dengan sapu lidinya.

"Saya bangun sebelum subuh, menjerang air, lalu berwudhu. Begitu adzan, saya langsung subuhan lalu ambil sapu..." jawabnya.

Waah...

Kucontohkan pada anak-anakku, kisah itu. Bahwa semestinya setiap orang berpagi-pagi menjemput rezeki seperti mbak Sumi.

"Tapi kenapa mbak Sumi hidupnya begitu-begitu saja?" tanya anakku.

Aku paham apa yang dia maksudkan dengan begitu-begitu saja... Anakku belum bisa melihat kehidupan secara utuh. Barangkali juga banyak orang lain melihatnya demikian. Biar lebih jelas kuceritakan saja.

Sumi adalah janda cerai dengan satu anak. Ia hidup bersama ibunya yang sudah renta. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang dibangun dari hasil bantuan untuk korban gempa, persis di tanah kas milik desa, di depan rumahku. Anak semata wayangnya barusan lulus STM dan telah diterima bekerja di sebuah pabrik pertambangan di Kaltim.

Sehari-hari Sumi bekerja di sebuah pabrik mebel, pemasok ekspor ke beberapa negara. Aku mengenalnya 6 tahun yang lalu, sejak kami pindah rumah ke kampung ini. Awalnya aku melihat Sumi biasa saja, sebagaimana banyak perempuan desa yang telah tinggal di kampung ini sebelum kami datang.

Perawakannya kurus, tingginya sedang, kulitnya kecoklatan karena setiap hari mengayuh sepeda berangkat dan pulang ke pabriknya yang berjarak sekitar 5 km dari tempat tinggalnya. Namun tidak disangka, perawakannya yang kurus menyimpan tenaga yang sangat besar. Ia biasa mengangkat mebel-mebel berat untuk dimuat di kontainer.

Sumi cukup pendiam, bicara seperlunya saja. Ia tidak pintar berbasa-basi atau beramah tamah. seolah ia terlahir hanya untuk bekerja. Pada awalnya, aku mengira ia tidak ramah. Namun setelah beberapa waktu, aku menghargai kedisiplinannya.

Setiap pagi, tepat jam 07.00 ia pasti sudah mengayuh sepeda menuju pabriknya. Nanti sekitar jam 16.00, ia akan kembali tiba di rumah. Kadang jika lembur ia pulang sekitar jam 18.30.

Pada jadwal normal, ia bersegera membereskan pekerjaan rumahnya, meladeni orangtuanya dan membersihkan dirinya. Lalu saat adzan maghrib berakhir, ia sudah sampai di rumahku, bersiap menyeterika baju.

Aku pernah bertanya padanya, "Adzan magrib baru selesai, kok kamu sudah sampai sini ? Apa kamu sudah sholat maghrib ?"

"Saya mandi dan berwudhu sebelum maghrib, lalu begitu adzan, saya langsung sholat maghrib tanpa menunggu usai adzan, setelah itu langsung ke sini..." jawabnya.

Waah...

Lantas ia menyeterika cucian orang serumahku yang menggunung. Kadang usai jam 21.00. Jika sangat banyak, kadang usai jam 22.00. Hasil seterikaannya rapi.

"Jam berapa kamu istirahat?"

"Nanti sepulang dari sini, nyuci baju sebentar terus istirahat..."

Melihat kegigihannya menghidupi dirinya, ibunya dan anaknya, itulah aku bersimpati.

Pada suatu hari, empat tahun yang lalu, ia tengah menyapu halaman dan aku menghampirinya.

"Anakmu sudah lulus SMP, mau melanjutkan dimana?"

"Tidak melanjutkan bu, saya tidak kuat membiayai sekolah SMU. Uang masuknya tidak sedikit...."

"Anakmu harus sekolah, zaman sekarang kalau hanya lulusan SMP mau jadi apa. Kamu suruh daftar dia ke STM, biar nanti bisa langsung kerja. Biar aku carikan biaya." Sejak itu aku punya anak asuh, anaknya Sumi.

Begitulah, anaknya ternyata cukup berprestasi sehingga, begitu lulus, ia lolos seleksi langsung disalurkan mengikuti pelatihan di Jakarta selama 3 bulan, lalu bekerja di pabrik pertambangan. Dan beberapa bulan setelah dikirim ke Samarinda, untuk pertama kalinya ia pulang dari Kaltim dengan naik pesawat...

Sampai disini, apakah anda bisa memahami ceritaku yang centang perenang ini?

Sesungguhnya, rezeki itu, tidak selalu berbentuk materi, yang orang lain melihatnya dengan standar tertentu. Sumi perempuan lugu, single parents. Ia hanya menapaki hari-harinya, tanpa banyak keinginan dan tuntutan. Sejak dulu sepeda kayuhnya tidak pernah ganti. Sejak dulu rumahnya tidak pernah direnovasi, dan nyaris aku tidak pernah melihat dia piknik kemanapun.

Namun ia mensyukuri banyak hal.

Ia selalu sehat dan kuat melakoni kewajibannya. Nyaris tak pernah sakit. Itu adalah rezeki yang tak ternilai oleh harta. Ia bisa menyekolahkan anak hingga mendapat pekerjaan yang sesuai. Anaknya bisa sekolah sampai lulus. Itu adalah bagian dari rezekinya. Bahkan saat usai gempa yang merobohkan rumahnya, ia mendapat bantuan uang dari perusahaannya yang lebih besar dari yang diterima teman-temannya. Uang itu, sekitar Rp 4,5 juta, mungkin baginya cukup besar nilainya, ia serahkan pada kami, aku dan suamiku.

"Bapak, ini uang dari perusahaan, tolong dipakai untuk membangun kembali rumah saya"

Dan suamiku mengiyakan saja, hingga dengan berbagai cara jadilah sebuah rumah tembok kecil ukuran 5 x 6 meter.

Saat orang tuanya juga mendapat dana Pokmas untuk korban gempa, ia membangun 1 rumah lagi, bahkan kini mereka punya dua rumah kecil yang berdampingan.

Bukankah itu rezekinya?

Mungkin orang melihat, tak ada yang berubah dari kehidupan hariannya. Seperti pagi ini, ia masih saja menyapu menembus dingin. Dan tak lama lagi ia akan mengayuh sepeda, menuju pabriknya. Dan nanti sore ia telah hadir menyeterika.

Namun aku tahu, ia menikmati semua itu. Dalam hatinya ada kebanggaan mengingat anak semata wayangnya, yang telah bisa mencari penghidupan, walau jauh di seberang, sementara anak lain seusianya, masih merengek kepada orangtuanya. Kebahagiaan itu adalah bagian dari rezekinya.

Ayo berpagi-pagi menjemput rezeki dan kebahagiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun