UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
Di Indonesia, kita sudah terlalu sering menemukan kebijakan yang parsial dengan diistilahkan ganti menteri ganti kebijakan. Pendidikan bukan sesuatu kebutuhan sesaat tetapi merupakan investasi yang harus dijaga keeksistensiannya. Kualitas SDM suatu negara bisa dilihat dari pendidikannya. Pendidikan adalah proses penyadaran untuk menjadikan manusia sebagai “manusia”. Tetapi pendidikan di Indonesia seperti menanam jagung atau padi yang setiap 3 atau 6 bulan sekali diganti metode penanamannya. Yang menghebohkan dunia pendidikan beberapa tahun terakhir adalah munculnya UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang didalamnya mengatur otonomi pendidikan.
Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah yaitu dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antar Pusat dan Daerah, diberlakukannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) serta arus globalisasi yang tidak mungkin lagi dibendung seakan hampir semua sektor kehidupan berubah, termasuk pendidikan. Kebijakan yang terkesan terburu-buru tersebut belum mampu menjadi suatu alternatif pemecahan masalah. Bahkan sektor pendidikan di Indonesia adalah sektor yang paling terkena imbasnya. Pendidikan diotonomkan.
Sebelumnya pemerintah mengundangkan UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) pada tahun 2009 dengan alih-alih reformasi pendidikan. Namun RUUnya saja sudah kontroversial karena ditengarai mengandung unsur-unsur liberalisme. Reformasi tersebut justru menjurus pada lepasnya tanggung jawab pemerintah khususnya pada pendidikan tinggi. Pemerintah memberikan keleluasaan (otonomi) seluas-luasnya kepada perguruan tinggi. Keleluasaan yang dimaksud yakni otonomi keuangan. Artinya masyarakat ikut menanggung beban pendidikan khususnya pendidikan tinggi. Atau dengan kata lain, kita sedang digiring dalam nuansa “swastaisasi perguruan tinggi negeri”. Konsekuensi logisnya tentu biaya pendidikan semakin mahal karena PT BH dibolehkan mengambil dana “semaunya” dari masyarakat. Hal inilah yang dinilai seolah-olah pemerintah lepas tangan terhadap amanat UUD NKRI 1945. Ternyata UU No. 12 tahun 2012 ini sebagian besarnya berisi tentang hal-hal yang diatur dalam UU BHP.
UU PT adalah sebuah dasar legal tata aturan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang memberikan kewenangan otonomi bagi perguruan tinggi dalam pengelolaan akademik maupun non akademik.
Pengelolaan akademik yang dimaksud terkait dengan Tridharma perguruan tinggi yang menjadi syarat demi tercapainya system pendidikan tinggi yang menciptakan sumber daya manusia manusia handal dan siap mengerahkan usaha terbaiknya guna berkontribusi terhadap kesejahteraan Indonesia dan peradaban dunia. Sedangkan pengelolaan non-akademik adalah pengelolaan yang sifatnya teknis ditujukan demi terciptanya penyelenggaraan pendidikan tinggi yang efektif dan efisien.
Secara garis besar, isi kandungan peraturan ini memaparkan hal-hal seputar ketentuan umum, tujuan pendidikan tinggi, penyelenggaraan pendidikan tinggi termasuk jenis dan program, proses pendidikan dan pembelajaran serta system penjaminan mutu. Hal-hal yang berkaitan dengan perguruan tinggi, kemahasiswaan, pendanaan dan pembiayaan juga terdapat didalamnya.
UU ini menuai banyak kritikan terutama terkait wacana liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan. UU PT dianggap sebagai benih tumbuh industrialisasi pendidikan semenjak dibatalkannya undang-undang tentang Badan Hukum Pendidikan ( UU BHP) oleh MK pada Maret 2010 silam.
Dalam UU ini ada ketidaksesuaian antara tujuan dibentuknya UU PT dan batang tubuh UU tersebut, dimana tujuan untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa tidak didukung dengan klasifikasi jenis perguruan tinggi yang jelas, perguruan tinggi berinvestasi, disparitas renumerasi pegawai, keharusan mahasiswa untuk menyumbang, adanya jalur istimewa asing tanpa adanya standarisasi dan seleksi nasional yang jelas, dan lain sebagainya.
Dalam UU ini juga terdapat ketidak jelasan tentang prinsip otonomi kampus, terutama bagi tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) yang sebelumnya berstatus badan hukum milik negara (BHMN) kemudian menjadi Badan Layanan Umum (BLU), dimana tidak dijelaskan secara gamblang dalam UU tersebut tentang batasan-batasan kewenangan pengelolaan perguruan tinggi sebagai BLU.
Dari UU ini dapat kita ketahui bahwa sebagai BLU, universitas tidak akan diberi subsidi pendidikan sehingga universitas akan dibebaskan untuk mencari pemasukan dan mendirikan program studi sendiri, sedangkan sebagai BHMN universitas masih mendapatkan subsidi namun tetap dapat mencari pemasukan sendiri. Maka yang berstatus BLU, SPP mahasiswa menjadi pendapatan utama kampus. Selain BLU, dalam UU PT, pemerintah dan DPR sepakat memberikan tiga opsi tata kelola kepada perguruan tinggi negeri (PTN) yakni sebagai satuan kerja yang tunduk di bawah Kemendikbud, badan layanan umum (BLU), atau PTN Badan Hukum (PTN BH).
Sedangkan untuk perguruan tinggi swasta (PTS) akan diberikan keleluasaan otonomi penuh di bidang akademik dan otonomi nonakademik masih ditentukan oleh yayasan.
Terdapat beberapa perbedaan pengelolaan di PTN BLU dengan PTN BH. Di antaranya adalah, aset di PTN BH harus dipisahkan antara aset kampus dengan aset negara. Perbedaan berikutnya adalah, pegawai di PTN BLU adalah PNS. Sedangkan di PTN BH adalah pegawai PTN ditambah PNS yang diperbantukan.PTN BLU diberikan kesempatan untuk mengusulkan ke Kemendikbud supaya berubah menjadi PTN BH. hanya PTN BLU sehat yang bisa naik grade menjadi PTN BH. Di antara aspek kesehatan ini meliputi kesehatan finansial, kesehatan akademik, dan kesehatan manajemin atau pengelolaan kampus.
PTN tetap harus berprinsip nirlaba, akuntabel, transparan, efisien, dan efektif sehingga tidak terjebak dalam arus komersialisasi. Arus komersialisasi akan dicegah melalui alokasi 20 persen untuk siswa miskin agar dapat masuk ke PTN.
Hanya saja UU ini memberi kebebasan pada perguruan tinggi dalam mengelola dan memperoleh pendapatan sendiri yang mengakibatkan pelepasan tanggung jawab Negara terhadap pemenuhan hak pendidikan warga Negara. Pemerintah dalam hal ini sebagai pihak penjamin terpenuhinya hak dasar warga negaranya akan pendidikan sebagaimana terdapat pada Pasal 31 UUD RI Tahun 1945/Perubahan IV Ayat 2 telah gagal menjalankan tugasnya. UU ini berpotensi besar menutup akses pendidikan tinggi bagi rakyat golongan ekonomi lemah. Minimnya peran negara menjadi celah bagi pengelola kampus untuk menaikan biaya pendidikan karena negara tidak dapat mencampuri urusan pengelolaan kampus, seperti melakukan pengawasan, karena posisi negara dalam UU Dikti tidak boleh ikut campur dalam mengelola universitas.
Selain itu pada pasal 74 ayat 1 UU No 12 tahun 2012 juga hanya mewajibkan PTN mencari dan menjaring calon mahasiswa yang berpotensi dalam hal akademik namun kurang mampu secara ekonomi hal ini mengesampingkan mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi dan akademik yang sekaligus bertentangan dengan amanat UUD 45 terutama pasal satu yang memberikan hak pendidikan terhadap warga Negara tanpa terkecuali.
Status perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN BH) membuat institusi pendidikan menjadi subyek hukum korporasi yang dimungkinkan untuk dipailitkan. Inilah konsekuensi hukum status kekayaan negara yang dipisahkan pada perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH). Lembaga semacam ini tidak lagi memiliki tujuan yang sama dengan tujuan bernegara. Dengan demikian, secara rasionalitas hukum, tak ada lagi hubungan dinas publik PTN-BH dengan keuangan negara. Ini berarti PTN-BH tidak lagi memperoleh dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena APBN hanya untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana diatur Pasal 7 Ayat (1) UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara.Padahal dalam pasal 2 ayat 5 UU No. 37 tahun 2004 disebutkan bahwa BUMN dibidang kepentingan publik, pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh menteri keuangan. Hal ini menunjukkan samarnya tujuan institusi pendidikan.
Dalam pasal 76 ayat 2 pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu dalam menyelesaikan studinya adalah dengan beasiswa, pembebasan biaya pendidikan, dan pinjaman dana tanpa bunga yang harus dilunasi. Pinjaman lunak tersebut menimbulkan kontroversi karena dianggap sebagai pelepasan tanggung jawab negara. Juga, tidak cocok dilakukan di Indonesia yang notabene memiliki sedikit lapangan kerja dibanding luar negeri karena mahasiswa harus segera membayar hutang setelah lulus dan menimbulkan kemerosotan ekonomi. Dalam persoalan ini, terlihat betapa sulitnya memberlakukan sistem tata kelola pada institusi pendidikan tinggi di Indonesia.
Liberalisasi pendidikan berimplikasi terhadap industrialisasi pendidikan. Institusi pendidikan yang seharusnya menjadi alat Negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat pembukaan UUD 45 akan berubah menjadi alat penghasil keuntungan bagi sebagian pihak.
Sebenarnya status badan hukum PTN tidak relevan lagi dalam era reformasi keuangan negara saat ini. Dengan ditetapkannya UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, solusi kerumitan keuangan negara tidak lagi perlu dengan memberi status badan hukum bagi PTN. Alternatif yang dapat digunakan adalah meminta presiden mengambil kebijakan khusus bagi PTN dalam pengelolaan keuangannya berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) UU No 17/2003.
Presiden dapat menetapkan dan membuat keputusan yang bersifat kebijakan teknis berkaitan dengan APBN, yang khusus diterapkan bagi PTN, yaitu penerapan pola pengelolaan keuangan lembaga pendidikan (PPK-LP). Pola ini tidak berorientasi pada bisnis sebagaimana badan layanan umum, juga tidak kaku seperti APBN, tetapi suatu pola pengelolaan keuangan yang fleksibel-komplementer. Artinya tidak rumit, akuntabel, dan tidak membebani peserta didik serta masyarakat.
Evaluasi Ujian Nasional
Penyelenggaraan ujian tingkat nasional sejak tahun 1965 (Ujian Negara) hingga tahun 2013 (Ujian Nasional) selalu menjadi masalah yang belum juga dapat dipecahkan. Berbagai hal menjadi alasan yang membuat Indonesia berkubu pro dan kontra UN. Inilah sebabnya, mengapa bentuk evaluasi ini sempat beberapa kali mengalami perubahan, mulai dari Ujian Negara, Ujian Sekolah, EBTANAS, UNAS, dan yang terakhir UN.
Pelaksanaan ujian nasional ini memang memiliki landasan, meskipun beberapa diantaranya tidak relevan dan kontradiktis antar pasal. Landasan-landasan ini diantaranya:
·Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 58 ayat (2) UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas disebutkan “Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan”.
·Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan juga mengamanahkan Pemerintah untuk menyelenggarakan ujian nasional. Pasal 63 ayat (1): Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
üPenilain hasil belajar oleh pendidikan;
üPenilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
üPenilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
·Pasal 66 ayat (2): Ujian Nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. Pasal 66 ayat (3): Ujian nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satutahun pelajaran. Pasal 68: Hasil Ujian Nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
üPemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
üDasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
üPenentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; dan
üPembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
·Pasal 69 ayat (1): Setiap peserta didik jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan jalur nonformal kesetaraan berhak mengikuti ujian nasional dan berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus dari satuan pendidikan.
·Pasal 69 ayat (2): Setiap peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti satu kali ujian nasional tanpa dipungut biaya.
·Pasal 69 ayat (3): Peserta didik pendidikan informal dapat mengikuti ujian nasional setelah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Badan Estándar Nasional Pendidikan (BSNP).
·Selain itu, dasar penyelenggaraan UN tahun 2013 adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional. Berdasarkan Permendikbud ini, BSNP juga menetapkan Peraturan Badan Estándar Nasional Pendidikan Nomor: 0020/P/BSNP/I/2013 Tentang Prosedur Operasi Standar Penyelenggaraan Ujian Nasional
Maka yang harus kembali ditanyakan adalah:
·Apakah UN sudah menjamin kualitas anak bangsa yang memiliki daya saing global?
·Apakah UN sudah mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional?
·Sejauh mana hasil UN dapat dimanfaatkan untuk pemetaan kualitas, seleksi masuk PT, pembinaan satuan pendidikan?
·Sejauh mana ketepatan alat ukur ini bisa melakukan fungsi ukurnya?
·Sejauh mana hasil UN dapat dipercaya?
Permasalahan yang terjadi di lapangan semakin parah dan menimbulkan kritikan terhadap ujian nasional terus dilayangkan. Bahkan pada 2009 Mahkamah Agung telah memenangi gugatan masyarakat lewat gugatan citizen lawsuit soal penyelenggaraan ujian nasional, namun pemerintah tetap melaksanakan ujian nasional dengan alasan kebutuhan standarisasi.
Secara legal, keputusan MA masih memberikan ruang bagi pemerintah untuk ujian nasional dengan catatan pemerintah telah meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, serta mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik akibat penyelenggaraan ujian nasional. Namun pertanyaannya, sudahkan persyaratan-persyaratan ini terpenuhi?
Alasan lain mengapa UN dipertahankan adalah karena hasil UN sangat berguna untuk: penetapan mutu satuan dan atau program pendidikan di seluruh Indonesia, seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau berikutnya, pertimbangan penentuan kelulusan peserta didik dari satuan dan atau program pendidikan, pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan dan atau program pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan untuk mencapai tingkat kelulusan tertentu, dan perbaikan sarana dan prasarana untuk guru, laboratorium, perpustakaan, tenaga kependidikan dan keperluan sekolah lainnya.
Artinya sekolah yang nilai hasil UN-nya rendah, harus didukung dengan dukungan anggaran dan program. Sehingga pada tingkat tertentu akan terjadi pemerataan kualitas pendidikan. Namun kenyataannya, hasil UN justru memicu kesenjangan antara sekolah maju dan sekolah pinggiran. Hal ini disebabkan oleh hasil ujian nasional yang berdampak pada reputasi dan nama baik sekolah, kota, provinsi, bahkan Negara.
Belum lagi apabila dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, yang diantaranya mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, demokratis dan bertanggungjawab, maka karakter yang mana yang diciptakan melalui UN ini?
Sementara dalam UN, kita temukan penekanan yang berlebihan pada hasil, kurangnya pendidikan moral, sosial, emosional, dan fisik, mengandalkan hafalan dan dril soal mekanis. Oleh karena hal-hal tersebutlah akhirnya kecurangan terjadi dimana-mana. Bukan hanya siswa, tapi sekolah pun terlibat dalam kecurangan ini, bahkan mungkin ada iyang lebih luas lagi yang membantu melancarkan aksi curang nasional ini.
Bukan hanya saat UN, dalam proses belajar mengajar pun UN menyebabkan menyempitnya kurikulum sebab materi-materi yang seharusnya diajarkan tidak diberikan kepada siswa karena materi-materi itu tak banyak keluar di ujian. Orientasi mengajar guru berubah. Kelas yang mestinya menjadi ajang pencerdasan dan tempat untuk mengajarkan keterampilan berpikir berubah menjadi tempat pelatihan menghadapi tes tak ubahnya lembaga bimbingan tes.
UN 2013
Sebelum melihat perbaikan yang jelas, Indonesia di tahun 2013 sudah dikejutkan dengan pelaksanaan UN yang disebut-sebut sebagai penyelenggaraan UN paling parah sepanjang sejarah. Pernyataan ini berdasarkan fakta-fakta berikut:
·Adanya kasus-kasus atau keluhan tentang pelaksanaan UN, diantaranya adalah:
üTerjadinya dugaan kebocoran soal ujian serta disinyalir adanya bocoran jawaban UN;
üTerdapat fenomena contek menyontek secara masal dan sistematik
üTerlambatnya distribusi soal sampai ke satuan pendidikan
üTertukarnya sejumlah soal UN atau kurangnya jumlah naskah UN yang diterima satuan pendidikan;
üTertukarnya naskah UN antar daerah atau wilayah
üTerjadinya ketidakjujuran dari aparat/oknum di satuan pendidikan maupun di pemerintah daerah dan pusat; dan lain sebagainya.
·Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengundurkan diri dari jabatannya serta adanya indikasi penyimpangan dalam penggunaan keuangan sesuai dengan hasil investigasi Inspektorat Jenderal Kemdikbud dan hasil audit Badan Pemerika Keuangan (BPK).
·Paket soal di setiap ruang ujian ditingkatkan dari 5 paket pada tahun 2012 menjadi 20 paket pada tahun 2013
·Penetapan panitia Ujian Nasional tingkat pusat terlambat, sosialisasi UN terlambat, pencetakan, dan distribusi soal juga terlambat.
·Penundaan ujian nasional di 11 provinsi.
·Biaya penyelenggaraan UN tahun 2013 adalah Rp. 644.246.827.000. Dari anggaran tersebut, anggaran yang disediakan untuk penggandaan dan distribusi soal UN tingkat SMP dan SMA sebesar Rp. 120.596.536.000. Dari jumlah sekian, dalam nota BPK yang dikirim ke Balitbang pada tanggal 21 Juni 2013, terdapat 33 temuan yang berindikasi kerugian negara atau anggaran tak wajar sedikitnya Rp 180 milyar. Penggandaan dan distribusi soal yang diduga rekayasa berpotensi merugikan negara Rp 6,35 miliar. Perjalanan dinas fiktif,
proyek pencetakan dan distribusi soal dan jawaban ujian tingkat SMP dan sederajat untuk 2012-2013 terindikasi merugikan negara Rp 3,6 miliar. Atau ada dana Rp 2,9 miliar biaya penyelenggaraan ujian untuk provinsi hingga sekolah yang tak disalurkan oleh Kemendikbud.
Evaluasi
Apabila kita ingin menilai prestasi, kemajuan,kekurangan, dan mutu peserta didik, maka bentuk soal pilihan ganda dalam ujian nasional tentu saja tidak memadai untuk dijadikan instrument penilaian. Upaya sosialisasi dan pelatihan di tingkat sekolah masih perlu terus dilakukan agar sekolah-sekolah mempunyai kepercayaan diri dan kompetensi untuk mengembangkan bentuk-bentuk penilaian yang lain guna melengkapi ujian nasional dan suatu saat nanti bahkan tidak lagi membutuhkan ujian nasional sebagai penilaian standar. Sayangnya, guru di Indonesia pada saat ini masih belum cukup kompeten dan terampil menyusun instrumen penilaian belajar yang baik dan tepat. Meski demikian, situasi ini tidak seharusnya dijadikan alasan pembenaran untuk pelanggengan ujian nasional tanpa batas.
Pelanggaran dalam penyelenggaraan tidak semestinya ditoleransi. Dalam pendidikan, rasio pelanggaran (yang dianggap) sangat kecil sudah menjadi persoalan sangat serius karena memberikan dampak modeling negatif yang akan sangat merusak proses pendidikan karakter anak dan bangsa. Seperti halnya memberantas narkotika, pengedar bocoran UN dan budidaya menyontek seharusnya juga menjadi hal yang harus dimusuhi dan diberantas sampai dengan ke akar-akarnya.
Selain itu, perbaikan sistem harus dilakukan dengan evaluasi secara terus-menerus. Soal-soal dan sistem administrasi tes seperti TOEFL dan yang semacamnya sering menjadi bahan kajian terbuka dalam forum-forum para pakar dan peneliti. Bahkan, soal-soal dalam tes terdahulu bisa diakses publik secara terbuka. Selama beberapa dekade pelaksanaannya, ada banyak sekali perubahan dan kemajuan mendasar. Mekanisme evaluasi internal ataupun hasil kajian publik telah memungkinkan tes-tes tersebut meningkatkan kesahihan dan keterandalannya secara berkelanjutan.
Pelaksanaan harus berdasarkan landasan termasuk perbaikan setelah pelaksanaan UN. Namun apabila UN dijadikan sebagai salah satu standar kelulusan, maka hasil UN hanya sebuah kebohongan yang diciptakan untuk menutup-nutupi kekurangan juga ketertinggalan. Itu sama artinya dengan tidak ada evaluasi, tidak ada perbaikan, tidak ada kemajuan.
Pendidikan Profesi Guru
PPG adalah usaha LPTK untuk menghasilkan guru yang profesional. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru. Sertifikasi dengan portofolio, sertifikasi dengan PLPG, belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Selain itu, mengingat jumlah LPTK yang lebih dari 300 di seluruh Indonesia, dengan mutu yang sangat beragam, PPG adalah filter untuk menghasilkan guru-guru yang profesional. Faktanya, setiap tahun dihasilkan ribuan lulusan LPTK, hal ini tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan guru, sehingga terjadi oversupply. Maka untuk mendapatkan guru-guru yang unggul, PPG merupakan jalan keluar.
Dikatakan kebijakan PPG ini tidak efisien karena kemunculannya disebabkan adanya ketidakpercayaan pemerintah terhadap LPTK dalam menghasilkan lulusan yang kompeten sehingga mewajibkan untuk mengikuti pendidikan profesi lebih lanjut lagi.
Tujuan umum program PPG adalah untuk menghasilkan guru yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan khusus program PPG adalah untuk menghasilkan guru profesional yang memiliki kompetensi:
(a) merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran
(b) menindaklanjuti hasil penilaian dengan melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik, dan
(c) mampu melakukan penelitian dan mengembangkan keprofesian secara berkelanjutan.
Berdasarkan Permendiknas No. 8 tahun 2009 pasal 1 angka 2 :
Program Pendidikan Profesi Guru Pra jabatan yang selanjutnya disebut program Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1 Kependidikan dan S1/DIV Non Kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Ada 2 jenis penyelenggaraan pendidikan profesi guru. Yaitu: pendidikan profesi guru pasca S1 kependidikan dan pendidikan profesi guru pasca S1 / D IV non kependidikan. jadi bila kita lulusan dari D IV atau S1 non kependidikan, kita masih bisa menempuh pendidikan profesi guru pada beberapa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang menyelenggarakan prndidikan profesi guru. pembiayaan ditanggung secara keseluruhan oleh pemerintah. Namun ada juga PPG yang membayar, tetapi PPG tersebut dilaksanakan secara mandiri. Bahkan ada sebagian Perguruan Tinggi (PT) menerapkan biaya sebesar Rp 6 juta.
Bagi peserta PPG diwajibkan untuk mengikuti program matrikulasi. Matrikulasi diberlakukan hanya untuk program PPG prajabatan. Matrikulasi adalah sejumlah matakuliah yang wajib diikuti oleh peserta program PPG yang sudah dinyatakan lulus seleksi untuk memenuhi kompetensi akademik bidang studi dan/atau kompetensi akademik kependidikan sebelum mengikuti program PPG.
PPG ini sebenarnya telah digagas sejak 2008/2009, tim PPG Pusat dari Dikti sudah menyusun naskah akademik, buku panduan, dan merancang kurikulum. Pada saat itu, fokus persiapan selain untuk PPG Prajab, juga untuk PPG dalam Jabatan (PPG Daljab). PPG Daljab direncanakan untuk segera dilaksanakan dengan salah satu misi mempercepat penuntasan sertifikasi guru. Mempertimbangkan jumlah guru yang belum tersertifikasi dan target penuntasan sertifikasi guru pada tahun 2015, diprediksi target tersebut tidak akan tercapai bila hanya mengandalkan jalur portofolio dan PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru).
Didalam peraturan itu sarjana pendidikan disejajarkan penguasaan kompetensinya dengan sarjana non kependidikan. Hal tersebut menimbulkan ketidak adilan.
Kalaupun PPG tersebut bertujuan untuk menjadikan guru yang profesional, janganlah membuka S1 Non kependidikan mengikuti program tersebut. Karena dari awal mereka tidak dibekali untuk menjadi seorang guru. Jika dibandingkan dengan pendidikan dokter, setelah lulus S1 para calon dokter juga harus mengikuti Koas setelah sarjana untuk mendapatkan gelar dokter, tetapi yang berhak untuk mengikuti program lanjutan tersebut hanya para lulusan sarjana pendidikan dokter
Seorang yang profesional wajib hukumnya menjadi tenaga pengajar dalam pendidikan profesi guru. Tetapi jangan sampai tenaga pengajar dalam program ini didominasi akademisi murni meski mereka bergelar doktor dan profesor. Jika hal itu terjadi, pendidikan profesi guru tidak ubahnya dengan pendidikan akademik sarjana yang telah diselesaikan sebelumnya di tingkat S1. PPG secara khusus berdampak terhadap tuntutan akan kualitas pendidikan secara umum, dan kualitas pendidikan guru secara khusus untuk menghasilkan guru yang profesional.
Dalam Naskah Akademik PPG sendiri dinyatakan, kompetensi guru merupakan sesuatu yang utuh, sehingga proses pembentukannya tidak bisa dilakukan secara instan, karena guru merupakan profesi yang akan menghadapi individu-individu, yakni pribadi unik yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang.
Untuk menjadi guru, selain menguasai materi dan kompetensi mengajar juga harus memiliki kepribadian dan kecintaan terhadap profesi. Oleh sebab itu, untuk membentuk kepribadian dan kecintaan profesi guru membutuhkan waktu yang relatif lama, sehingga tidak cukup hanya menempuh PKM. Dengan diijinkan lulusan non kependidikan untuk memasuki profesi guru dapat berakibat pada penurunan kualitas guru.
Setelah ada hasil studi perbandingan internasional PISA, disimpulkan, masalahnya terletak pada pendidikan guru. Kalau soal ini hendak diselesaikan dengan cara mengambil orang yang tidak berpendidikan sebagai guru, sepertinya kita menghadapi masalah kualitas.jika kita mengambil orang-orang dari nondik pada dasarnya kita pun juga belum bisa menjamin kualitas akademi apalagi keprofesiannya sebagai guru.
Lagipula apabila benar alasannya perbaikan kualitas, maka perbaikan kualitas ini seharusnya dapat dilakukan di LPTK itu sendiri tanpa melakukan pendidikan profesi lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H