Mohon tunggu...
Ida I Dewa Agung Bayu Pramana
Ida I Dewa Agung Bayu Pramana Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa S2 Ilmu Hukum

Hobi Membaca, Menulis, dan berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Asas Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea dalam Hukum Pidana

29 Oktober 2024   23:45 Diperbarui: 30 Oktober 2024   00:11 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam hukum pidana, penentuan apakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana tidak hanya berdasarkan pada tindakan fisik atau actus reus yang dilakukan, tetapi juga harus memperhitungkan kondisi mental pelaku atau mens rea. Asas "Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea" yang diterjemahkan sebagai "suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah kecuali ada niat jahat" menjadi dasar untuk menentukan apakah pelaku memiliki kesalahan (culpa) yang cukup untuk menanggung tanggung jawab pidana. Asas ini secara historis merupakan bagian integral dari perkembangan sistem hukum pidana di berbagai yurisdiksi, termasuk Indonesia. Di Indonesia, asas ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan menjadi dasar untuk merumuskan kesalahan atau schuld dalam setiap tindak pidana. 

Secara etimologis, asas Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea berasal dari bahasa Latin dan mengandung dua elemen kunci dalam pembuktian suatu tindak pidana, yaitu actus reus dan mens rea. Actus reus merujuk pada tindakan fisik yang dilarang oleh hukum. Ini merupakan perbuatan yang dianggap melanggar norma atau ketentuan hukum yang berlaku, baik berupa tindakan aktif (melakukan sesuatu) maupun pasif (membiarkan sesuatu terjadi). Dalam konteks hukum pidana, tindakan fisik ini merupakan salah satu syarat untuk menilai tanggung jawab pidana, sedangkan Mens rea merujuk pada keadaan mental atau niat jahat yang menyertai tindakan fisik yang melanggar hukum. Dalam konteks pidana, mens rea adalah bentuk kesalahan subjektif yang menunjukkan apakah seseorang secara sadar dan sengaja melakukan tindakan yang melanggar hukum. Bentuk mens rea ini bisa berupa niat jahat (dolus), kelalaian (culpa), atau kecerobohan yang parah.

Berdasarkan asas ini, seseorang baru dapat dipidana jika kedua elemen tersebut, actus reus dan mens rea, terpenuhi. Jika salah satu elemen tidak terpenuhi, maka seseorang tidak dapat dikenakan pidana. Misalnya, jika seseorang melakukan suatu perbuatan pidana tanpa kesengajaan atau tanpa niat jahat (seperti kasus force majeure atau kecelakaan yang tak disengaja), maka ia tidak dapat dikatakan bersalah.

Di Indonesia, asas Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea secara implisit diatur dalam berbagai ketentuan dalam KUHP. Prinsip ini sangat penting dalam menilai apakah seseorang layak dikenai hukuman pidana berdasarkan dua elemen yang harus terbukti, yaitu perbuatan fisik dan niat jahat. Actus Reus dalam KUHP Indonesia mengatur banyak sekali tindak pidana yang mencakup unsur actus reus, seperti pembunuhan (Pasal 338), pencurian (Pasal 362), dan penipuan (Pasal 378). Pada setiap tindak pidana tersebut, yang harus dibuktikan pertama adalah bahwa perbuatan fisik yang melanggar hukum telah dilakukan oleh pelaku. Tanpa adanya actus reus, tidak ada dasar untuk memulai tindakan pidana terhadap individu. Kemudian ada unsur kesalahan mental atau mens rea juga diatur dalam KUHP. Dalam berbagai tindak pidana, mens rea diartikan sebagai adanya kesengajaan (opzet) atau kelalaian (culpa). Misalnya, dalam Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, harus dibuktikan bahwa pelaku memiliki niat yang disengaja dan terencana untuk melakukan pembunuhan. Tanpa niat jahat ini, pembunuhan tersebut bisa dikategorikan sebagai pembunuhan tidak disengaja (Pasal 338), yang hukumannya lebih ringan.  Meski asas Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea berlaku secara umum, ada beberapa pengecualian di mana tanggung jawab pidana dapat dikenakan tanpa pembuktian mens rea. Contoh dalam hukum pidana modern adalah prinsip strict liability, di mana seseorang dapat dipidana meski tanpa adanya niat jahat, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran administrasi atau hukum lingkungan. Selain itu, ada juga vicarious liability, di mana seseorang dapat bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh pihak lain, seperti dalam konteks hubungan kerja.

Meskipun asas ini tampak sederhana, dalam praktik penerapannya sering kali menimbulkan tantangan, terutama dalam menentukan adanya mens rea dalam kasus-kasus tertentu. Beberapa tantangan yang sering muncul antara lain:

  • Kesulitan membuktikan Mens Rea salah satu tantangan terbesar dalam penerapan asas ini adalah kesulitan dalam membuktikan mens rea. Niat atau kesengajaan adalah sesuatu yang bersifat internal, sehingga sulit dibuktikan secara langsung. Hal ini sering kali harus dibuktikan melalui fakta-fakta eksternal, seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku atau pernyataan yang dibuatnya sebelum dan setelah melakukan tindakan pidana.
  • Perbedaan Tingkat Kesalahan (Dolus dan Culpa) Dalam hukum pidana, terdapat perbedaan antara dolus (kesengajaan) dan culpa (kelalaian). Pembuktian apakah suatu tindakan dilakukan dengan kesengajaan atau hanya kelalaian juga menjadi masalah kompleks, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kecelakaan atau tindakan yang tampaknya tidak disengaja.
  • Pengecualian Prinsip Mens Rea dalam Tindak Pidana Tertentu Dalam beberapa tindak pidana tertentu, hukum pidana modern telah mengembangkan konsep strict liability di mana pelaku dapat dipidana meskipun tidak ada mens rea. Hal ini sering terjadi dalam tindak pidana lingkungan atau lalu lintas, di mana pembuktian niat tidak diperlukan. Penerapan strict liability ini sering dianggap bertentangan dengan asas Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea, meskipun dalam beberapa kasus dianggap sah karena demi kepentingan perlindungan masyarakat.

Sehingga dalam tulisan ini dapat disimpulkan bahwa Asas Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea merupakan prinsip fundamental dalam hukum pidana yang menuntut adanya kesalahan dalam bentuk perbuatan fisik (actus reus) dan niat jahat (mens rea) sebelum seseorang dapat dinyatakan bersalah. Penerapan asas ini penting untuk memastikan bahwa hukum pidana dijalankan secara adil dan proporsional. Namun, tantangan dalam pembuktian mens rea serta perkembangan konsep strict liability menjadi isu yang perlu terus diperhatikan dalam praktik peradilan. Upaya untuk memastikan penerapan asas ini secara tepat harus terus dilakukan untuk menjaga keadilan dalam sistem hukum pidana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun