Mohon tunggu...
Ida Fitri
Ida Fitri Mohon Tunggu... -

Sebuah tulisan mampu menciptakan sejarah ...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menatap Rupa Dunia

4 September 2014   01:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:41 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sabar! Sabar.” Lirih memapar perih.

Tak terdengar jawaban, hanya hingar bingar lembar-lembar arta berulang kali. Tentang bensin melonjak naik, sumur-sumur mengorontang. Tak cukup keping menawar kempek teranyar. Paras memerah, api menjalar ubun.

“Aku benci menjadi papa!” ujarmu mengguncang jiwa labilku.

Prang! Piring-piring berterbangan. Aku takut, aku pengecut.

“Peluk aku, Papa.” Gerakanku semakin payah. Mencari-cari artiku dalam sanubarimu.

“Papa, kamu dimana?”

Kosong! Aku ada dan tiada. Tersangkut pada malam itu. Malam yang membuatmu tertawa-tawa nikmat.

***

Bulan ketujuh ….

“Sabar! Sabar!” Suara pelan tertelan ligamen.

Tak terdengar jawaban, hanya hingar bingar irama musik memekakkan. Ditambah kepulan kabut-kabut membentuk lingkaran kecil. Jantungku memacu lebih cepat.

“Aku ingin membunuhnya.”

Tidak! Aku ingin melihat matahari terbit.

“Terlambat! Ini tak bisa digugurkan lagi.”

“Jadi kau akan bertanggung jawab?”

Itu papa yang akan membelaiku manja, menina bobokan dengan syair terindah. Lama tak ada jawaban. Ah! Papa pasti akan melindungiku dari perempuan ini, ibuku.

Terdengar tawa keras-keras. Suara baritone papa indah menjadi music klasik menenangkan hati.

“Aku tidak yakin itu anakku.”

Apa maksudnya ini? Sebuah gunung dijatuhkan ke atasku.

“Maksudmu?”

“Bukankah kau juga tidur dengan temanku, Jalang?”

Aku tak mau mendengarkan ini. Kututup telinga rapat-rapat.

***

“Lapar! Lapar!”  Suara yang menampar dinding-dinding rahim. Menggoncangkan air ketuban. Tetap tak terdengar jawaban.

“Pakai sarung ini!”

Kurasakan gerakan-gerakan kecil.

“Sudah”

“Berbaringlah!”

Resah gelisah, apa yang akan terjadi padaku? Kenapa Ibu seperti ketakutan.

“Tahan ya, Ini sakit.”

“Auuuww!”

Tidak! Aku ingin melihat mentari.

“Aduhhh sakit.”

Tidak! Aku ingin hidup. Kakiku dipatahkan, selanjutnya tangan-tangan kecilku.

Tidakkk! Aku ingin melihat wajahmu, Ibu.

“Sakitt!”

Leherku dipatahkan, aku berdarah-darah, semua gelap.

***

“Bangun! Bangun!”

Tak ada gerakan, tubuh itu terbaring kaku. Darah bercucuran dari pangkal pahanya.

“Sial! Kenapa kamu mati di sini?"

Perempuan itu mengepel lantai, membersihkan darah-darah, kemudian menyeret tubuh beku itu.

End

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun