Latar belakang penulisan artikel ini tidak lain karena ”ketergelitikan” penulis, ketika membaca bahwa para mahasiswa (yaitu para ketua BEM yang diundang makan oleh Presiden RI, Pak Jokowi) dan ketua BEM yang memenuhi undangan tersebut dikatakan sebagaimana ditulis pada judul di atas.
Para pimpinan BEM sejumlah perguruan tinggi di Indonesia memberikan keterangan
kepada awak media di Istana usai bertemu Presiden Jokowi, Senin (18/5/2015) malam (Sumber foto: Rumgapres)
Baiklah agar kita bisa memberikan penilaian atas kebenaran ungkapan kalimat tersebut, yaitu “mahasiswa dianggap sebagai pelacur intelektual”. Mari kita cari arti kata & definisi dari masing-masing kata pada ungkapan tersebut berdasarkan KBBI.
KBBI online (http://kbbi.web.id/) menyebutkan bahwa yang dimaksud mahasiswa, adalah (kt. benda) orang yang belajar di perguruan tinggi. Sedangkan kata pelacur (kt. benda) berasal dari kata dasar lacur, dimana KBBI mengartikan kata ini sebagai (kata sifat), yaitu buruk laku. Untuk intelektual memiliki arti: cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan.
Ketiga kata yang telah diperoleh artinya dari kamus tsb, jika kita gabungkan akan bermakna bahwa: seseorang yang belajar di perguruan tinggi, dan orang tersebut dikatakan cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, tetapi dianggap berperilaku buruk seperti pelacur (kata pelacurdi sini sebagai bentuk hujatan yang diungkapkan dalam bentuk paling kasar).
Baiklah mari kita bahas apakah sudah benar obyek materi dari ungkapan kata paling kasar tersebut, dimana pembahasannya akan menggunakan sudut pandang dengan argumentasi dijelaskan berikut
Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Atas dasar inilah penulis akan menggunakan cara pandang dengan mengacu kepada perundang-undangan yang memayungi dan mengatur keberadaan kata perguruan tinggi dimana orang ini (yaitu mahasiswa) dimaksud melakukan kegiatan belajar. Adapun undang-undang yang dimaksud, adalah UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti 12/2012).
UU Dikti 12/2012 menyebutkan bahwa perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi. Dimana mahasiswa oleh UU ini didefinisikan sebagai peserta didik pada jenjang Pendidikan Tinggi dan mahasiswa ini merupakan anggota sivitas akademika selain dosen.
Dimana menurut UU, mahasiswa sebagai anggota sivitas akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional.
Penulis pernah membahas bahwa definisi mahasiswa sesuai UU Dikti tsb, adalah anggota komunitas yang memiliki (bersifat melekat padanya) penilaian/anggapan bahwa cara-cara yang ditempuh adalah paling baik & benar yang didasarkan kepada syarat (kaidah) ilmu pengetahuan (ilmiah). (Silahkan pembaca mengakses tautan berikut jika penasaran bagaimana terbentuknya definisi mahasiswa di atas, yaitu: http://edukasi.kompasiana.com/2015/03/17/memaknai-surat-peringatan-bagi-presiden-ri-dari-bem-jawa-barat-707296.html)
Dimana kalimat yang digarisbawahi di atas akan digunakan untuk mengembangkan (menambahkan/memajukan) sesuatu obyek yang dinamakan budaya akademik. Dimana budaya akademik sendiri, merupakan seluruh sistem nilai, gagasan, norma, tindakan, dan karya yang bersumber dari IPTEK sesuai asas pendidikan tinggi. Asas pendidikan tinggi sendiri adalah kebenaran ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebhinekaan, dan keterjangkauan
Syarat/kaidah ilmu pengetahuan (atau yang disebut ilmiah) sendiri mencakup 3 (tiga) hal, yaitu: (1)hakekat komponen ilmu (yang terdiri atas ontologi, epistemologi dan aksiologi), (2)asas keilmuan, yaitu metode ilmiah, dan (3)moral keilmuan.
Dimana asas keilmuan yang disebut metode ilmiah terangkai dalam kata Logico-Hypothetico-Verifikasi, yang mengandung makna: (1)mempercayai cara berpikir rasional, (2)mempercayai verifikasi argumentasi secara obyektif berdasarkan kenyataan faktual, (3)mempercayai sifat kritis dalam menarik kesimpulan, (4)bersifat terbuka terhadap kritik dan kebenaran yang lain dan (5)memperhatikan aspek etis, tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri permasalahan tentang kehidupan.
Sedangkan moral keilmuan sendiri, adalah: (1)bertujuan menemukan kebenaran, (2)dilakukan dengan penuh kejujuran, (3)tanpa kepentingan langsung tertentu, dan (4)berdasarkan kekuatan argumentasi.
Berdasarkan uraian makna yang dikandung dalam asas keilmuan (metode ilmiah) yang terangkai dalam kata Logico-Hypothetico-Verifikasi di atas, penulis (sebagai sesama anggota sivitas akademika) akan memberikan pesan yang ditujukan kepada kedua belah pihak, yaitu:
(1)kepada para ketua BEM yang mengambil keputusan untuk memenuhi undangan tersebut berarti Sdr. telah meyakini (melalui penilaian/anggapan ilmiah), bahwa dengan melalui cara memenuhi undangan inilah aspirasi Sdr. dalam memperjuangkan perbaikan bangsa ini dapat dicapai.
Begitu juga kepada (2)para ketua BEM yang mengambil keputusan untuk tidak memenuhi undangan tersebut berarti Sdr. telah meyakini (melalui penilaian/anggapan ilmiah), bahwa dengan melalui cara tidak memenuhi undangan inilah aspirasi Sdr. dalam memperjuangkan perbaikan bangsa ini dapat dicapai.
Jika Sdr. (para ketua BEM) dari kedua belah pihak mengaku sebagai bagian dari sivitas akademika, berikanlah verifikasi argumentasi secara obyektif berdasarkan kenyataan faktual (salah satu makna dari kaidah ilmiah) kepada masyarakat. Disamping itu berpikir rasional dan bersifat terbukalah Sdr. terhadap terhadap kritik dan kebenaran yang lain.
Sampaikan dan jelaskan kepada masyarakat, bahwa melalui cara-cara tersebutlah yang menurut Sdr. paling baik & benar menurut kaidah ilmiah, agar Sdr. dikatakan sebagai masyarakat yang berintelektual dan berbudaya akademik.
Proses kegiatan itulah yang dinamakan pencarian kebenaran ilmiah. Dimana kembangkanlah dan asah potensi diri kalian dengan persoalan nyata (riel) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini secara ilmiah, karena diri kalianlah calon-calon intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional harapan bangsa ini di masa depan.
Janganlah karena kalian berbeda pendapat dalam menempuh cara-cara yang dianggap benar tersebut, kemudian kalian menghujat mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dan menuduh hanya menurut pendapat dirinyalah yang paling benar dan hal ini mencerminkan bahwa kalian bukanlah anggota sivitas akademika.
Dimana dengan menggunakan alur berpikir (logika) kebalikan, bahwa jika seseorang tidak menganut cara-cara (dalam bertindak/berperilaku) yang dinilai/dianggap paling benar (yang disebut tradisi) menurut kaidah ilmiah, maka dapat dipastikan bahwa seseorang tersebut justru bukanlah disebut sebagai seorang mahasiswa.
Mahasiswa Indonesia adalah mahasiswa yang hidup di Negara yang bernama Indonesia dan perilakunya dipastikan akan mengacu kepada perundang-undangan yang memayunginya.
Sebagai penutup tulisan singkat ini, penulis berharap & optimis semoga mahasiswa Indonesia di masa yang datang sebagai insan akademik dalam memperjuangkan nasib bangsa ini untuk semakin baik, akan mengedepankan cara-cara yang dinilai/dianggap paling baik & benar secara ilmiah (pencarian kebenaran ilmiah).
Majulah mahasiswa Indonesia untuk kemajuan & kejayaan bangsamu dan bangsaku juga, yaitu bangsa kita yang bernama Indonesia!
Semoga bermanfaat, Wass (ISH).
Bandung, 23 Mei 2015
Referensi:
(1)Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
(2)Suriasumantri, S, (1996). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Peopuler. Jakarta: Pustakan Sinar Harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H