Mohon tunggu...
Ida Ratna Isaura
Ida Ratna Isaura Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswi Universitas Airlangga, suka browsing, membaca, menulis puisi, menyukai hal-hal yang menarik dan agak sinting - I admire my self -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Is That Mean You Are Crazy, or. . . . ?

26 Juli 2012   17:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:35 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1343325022402944458

[caption id="attachment_189938" align="aligncenter" width="300" caption="gambar imvu - dok. pribadi"][/caption]

Karin kembali jatuh. Lelaki datang. Lelaki pergi. Sedikit yang datang, tapi terasa pergi berkali-kali. Bukan hanya sedikit, tapi memang hanya satu. Seseorang yang diharap-harapkannya itu memilih perempuan lain. Selalu perempuan lain.

Airmatanya hanya setetes. Ketegarannya karena terbiasa tak dipilih. Tapi perihal kesendirian itu, ia sudah terlampau bosan. Di hadapannya, secangkir kopi dihidangkan. Ia segera minum tapi kopi masih panas. Dilemparnya cangkir itu. Kenapa kopi tak juga dingin? Padahal ia haus.

Tapi kepuasan melempar secangkir kopi tak bisa dipungkiri. Datanglah hikmah dibenaknya, bahwa hidup itu hanya ada dua urusan: melempar dan dilempar. Jika dia tidak melempar, barangkali dia sendiri yang akan dilempar. Apa jadinya kalau cangkir kopi yang panas itu menyeret tangannya lalu membuatnya terpelanting dengan kopi panas tumpah di rambutnya. Ah! Itu tidak mungkin. Tapi bisa saja bukan?! Bukankah tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, pikirnya.

Rasa kesepian membuat tubuhnya terasa kosong. Tanpa lelaki, tubuhnya begitu kering dan kisut. Bagaimana kalau di jual saja? Maka ia menawarkan payudaranya itu seharga lima ratus ribu kepada pria di ujung telepon.

“Lima ratus ribu, yang benar saja. Aku bisa bercinta dengan perempuan yang lebih cantik darimu.”

“Baiklah. Kalau begitu tiga ratus ribu.”

“Tiga ratus ribu? Memangnya berapa ukuran payudaramu?” Pria di ujung telepon itu terkekeh.

“Lalu berapa maumu? Bagaimana kalau dua ratus ribu?”

“Dua puluh ribu saja bagaimana?”

Karin menutup telepon. Dia berpikir keras. Apakah tarifnya yang terlalu tinggi, atau memang payudaranya sudah tak laku di pasaran. Lantas bagaimana caranya mendapatkan lelaki? Apakah dengan mencuri?

Lalu terlintas siluet wajah perempuan. Perempuan datang, perempuan mencuri. Lelaki datang, lelaki dicuri. Kegagalannya mendapatkan lelaki membuatnya berpikir kalau semua perempuan adalah pencuri, kecuali ia. Sekalinya ia pernah belajar mencuri, tapi orang-orang buru-buru meneriakinya maling. Ia sedih. Lebih spesifiknya lagi, ia merasa gagal. Sering pula ia mencemooh perempuan lain, tapi justru ia yang dibenci.

Karin menjadi gusar. Nafasnya tak teratur. Lalu ia pun beranjak dari kursinya dan segera mengambil satu-satu barang berharga miliknya. Guci, gaun yang indah, ponsel, lukisan dan semua yang ia beli dengan harga dalam kisaran juta. Ia ke luar memecahkan guci, lalu kembali ke dalam memecahkan piring dan gelas. Ia kalut. Setiap kali terkilas siluet perempuan cantik, ia semakin takut. Di bakarnya gaun-gaun yang indah itu di dalam rumah. Juga lukisan yang ia beli seharga sepuluh juta itu. Ia menuangkan minyak tanah lalu memercikkan api. Terbakarlah semuanya.

Kini ia tak memiliki apa-apa. Benar-benar tak ada apapun yang tersisa untuk dicuri. Namun satu hal tiba-tiba terlintas: rumah! Bukankah itu sesuatu yang besar dan terlihat?! Bisa saja para pencuri melirik rumahnya yang mewah lalu menyeret rumah itu selagi dia pergi. Pencuri semakin lama semakin pintar. Tentu saja hal itu mungkin. Karin kemudian menuang minyak tanah ke setiap sudut rumah, tak peduli dengan tetangga yang berkerumun melihat ulahnya.

Ia menyalakan korek api dan terbakarlah rumah itu. Terbakarlah rumah itu beserta Karin di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun