Mohon tunggu...
Ida BagusMade
Ida BagusMade Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa aktif

hobi berolahraga dan sering jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Seni

Pameran Seni Rupa Undiksha, sebagai bentuk Revitalisasi Budaya

2 Januari 2025   19:49 Diperbarui: 2 Januari 2025   20:24 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar 1. suasana pameran( sumber: dwipa)

Sejumlah seniman muda di Undiksha mengadakan kembali pameran karya mereka yang bertemakan "Peta Tanpa Arah"

Seniman muda yang menggelar pameran ini merupakan mahasiswa Pendidikan Seni Rupa angkatan tahun 2021 yang bertempat di Galeri Paduraksa, Undiksha. Pameran ini akan berlangsung selama kurun waktu 21 hari yang dimulai pada hari Jumat, 27 Desember 2024 hingga tanggal 16 Januari 2025.
Pameran studi khusus ini salah satu bentuk program mata kuliah baru yang ada pada sistem perkuliahan. Tema "Peta Tanpa Arah" ini merupakan arahan langsung dari dosen mereka karena konsep ini menggambarkan bahwa mahasiswa seni rupa memiliki potensi serta bakat, namun masih perlu menemukan arah dan tujuan yang jelas. Seperti kata-kata yang dilontarkannya yaitu "Kalian ini seperti peta tanpa arah" kata-kata tersebut sedikit menyakitkan bagi mereka yang mengisyaratkan bahwa mereka masih rancu dan tidak memiliki strategi bersiap menghadapi kelulusan serta tugas akhir yang sudah ada di depan mata. Tuduhan itu membuat mereka mengiris kecut karena memang benar adanya. Tetapi mereka bisa membuktikan pameran yang digarap selama empat bulan ini berhasil hingga sampai di titik ini.  

gambar 2. pameran (sumber: dwipa)
gambar 2. pameran (sumber: dwipa)

"Melalui pameran ini, selain bisa menjadi debut para mahasiswa dalam membuat karya kedepannya, dan diharapkan bisa berkontribusi dalam dunia seni. Kami juga berusaha menjadi pionir yang akan menentukan arah dari peta tersebut." Ungkap Dwipa.
Beberapa karya dalam pameran ini juga berusaha mengeksplorasikan bagaimana mereka meluapkan keresahannya terhadap isu-isu sosial/krisis, dalam sebuah karya seni yang divisualkan melalui lukisan, patung, grafis, DKV, dan yang lainnya.
Para seniman muda itu mengumpamakan pameran "Peta Tanpa Arah" ini sebagai hasil keringat dan perjuangan yang mereka tuangkan ke dalam karya.
"Proses penggarapan karya dalam pameran ini tidak lepas dari tantangan. Salah satunya yaitu Andi Wibawa yang membuat karya patung berbahan resin sehingga membuat orang-orang di sekitar mengalami gangguan pernafasan, bahkan asma saya sempat kambuh. Selain itu juga bahan yang digunakan memiliki campuran kimia sehingga menimbulkan reaksi berupa rasa perih, terbakar, dan kulit mengelupas." Ungkap Dwipa sebagai salah satu orang yang bekerja disamping Andi Wibawa.
Adapun salah satu karya dari seniman muda yang kerap disapa Dwipa ini mengangkat isu tentang kondisi budaya Bali yang mulai pudar karena pengaruh teknologi.
Bermula dari kondisi di lingkungan sekitar yang pada saat itu berada dalam lingkup desa, tetapi sudah ada perkembangan teknologi yang masuk. Membuat anak-anak di lingkungannya yang dulunya masih melakukan aktivitas di luar ruangan, kini malah kalah oleh alat hiburan "All In One" yang lengkap dalam sebuah genggaman sehingga budaya Bali menjadi tidak menarik di mata anak-anak dibandingkan HP yang isinya lebih menarik dan modern. Hal ini menyebabkan budaya Bali dianggap kuno, bahkan anak-anak kini seperti merasa malu terlibat dengan budaya Bali, seperti saat kegiatan gotong royong di mrajan/pura.
"Hal ini bermula dari momen saat saya menasehati keluarga tedekat saya saat sedang bermain HP, kemudian diminta bantuan untuk membuat anyaman ketupat untuk sarana upakara di pura. Tetapi dia malah menolak dan lebih memilih HP itu sendiri.  Sehingga sering kali mendapatkan nasehat dari orang tua, seperti "Yen sing Gus nglanjutang merajanne, nyen ke tunden? Masa ajik ane be lingsir." Sehingga dari sini dapat dilihat bahwasanya anak-anak dari hal sederhana saja sudah mulai malas melakukannya. Lebih lucunya lagi anak-anak di lingkungan saya rela menahan lapar hanya demi bermain HP seharian." Ujar Dwipa.
"Selain itu melalui karya ini diharapkan meski dengan terus adanya perkembangan teknologi orang-orang tidak melupakan budaya bali." Sambung Dwipa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun