Pandemi Covid-19 telah mereda, seluruh sektor pariwisata perlahan-lahan mulai menerima wisatawan baik secara domestik hingga mancanegara. Salah satu jenis sektor pariwisata yang ada di sekitar masyarakat adalah desa wisata. Desa wisata merupakan suatu wilayah pedesaan yang memiliki daya tarik dan keunikan tersendiri baik dari segi lingkungan dan alam maupun kehidupan sosial masyarakatnya, dikelola secara alami untuk menjaga keasliannya, sehingga dapat menarik minat kunjungan wisatawan (Sudibya, 2018). Menurut Hadiwijoyo (dalam Sudibya, 2018) terdapat beberapa kriteria yang dimiliki sebuah desa wisata, yaitu: aksesibilitas yang baik sehingga wisatawan dapat menjangkau desa dengan mudah; memiliki objek-objek yang menarik wisatawan, seperti keindahan alam, budaya, kerajinan, dan lainnya; masyarakat dan aparat desa memberi dukungan.
Seperti halnya salah satu desa wisata yang ada di Yogyakarta, yaitu Desa Wisata Jipangan. Desa Wisata Jipangan berlokasi di 48WG+5RG, Unnamed Road, Kalangan, Bangunjiwo, Kec. Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa wisata ini menjadi kawasan dengan sentra kerajinan tangan berbahan dasar bambu, yaitu kipas tangan bambu dan mayoritas penduduknya menjadi pengrajin. Selain produksi kerajinan kipas yang menjadi daya tarik desa, terdapat pelatihan produksi kipas bambu, wisata rafting di Bedog River Tubing, dan melihat keindahan dari Grojokan tiga tingkat.
Desa Wisata Jipangan berdiri pada tanggal 26 November 2014 dan diumumkan sebagai desa wisata pada tanggal 15 Maret 2015 oleh GKR Hemas. Desa wisata ini berdiri dengan dasar keprihatinan karena wilayah Jipangan memiliki kekayaan alam yang indah, seperti tanaman bambu yang subur, sungai, suasana khas pedesaan yang masih tradisional lengkap dengan kultur budaya, dan persawahan. Namun pada saat itu belum dikelola dengan maksimal. Maka dari itu, para warga dan anak muda sadar bahwa potensi dari kekayaan alam dapat dimanfaatkan dengan baik untuk upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan warga Jipangan.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, Desa Wisata Jipangan juga terkena dampaknya, kedatangan wisatawan menurun, jumlah produksi kipas bambu menurun, bahkan para pengrajin pun banyak yang beralih profesi. Kurangnya pemanfaatan media sosial dalam pemasaran produk juga mempengaruhi jumlah penjualan kipas bambu. Â Jika dikaitkan antara sejarah terbentuknya Desa Wisata Jipangan dengan permasalahan utama yang dihadapi Desa Wisata Jipangan sekarang, menurut penulis tidak ada kaitannya. Hal tersebut karena sejarah dari terbentuknya Desa Wisata Jipangan berawal dari rasa prihatin akibat sumber daya alam yang tidak dikelola dengan baik, sedangkan masalah utama yang dihadapi Desa Wisata Jipangan saat ini adalah kurangnya pemanfaatan media sosial dalam melakukan pemasaran kerajinan kipas bambu. Terdapat satu masalah dari Desa Wisata Jipangan (bukan masalah utama) yang berhubungan dengan sejarah, yaitu para pengrajin yang beralih profesi akibat pandemi, mengelola kembali lahan persawahan, dimana dulu persawahan menjadi daya tarik dari Desa Jipangan.
Jika dilihat dari segi geografis, Desa Wisata Jipangan merupakan daerah pegunungan dan berupa hamparan sawah dengan luas wilayah Desa Jipangan 71.489 Ha. Secara administratif desa ini berbatasan dengan Desa Kasongan di sebelah Utara, Pendowoharjo dan sungai Bedog di sebelah Timur, Kalangandi sebelah Selatan dan Bibis di sebelah Barat. Ketika penulis mengunjungi Desa Jipangan, terdapat bagian tanah yang terlihat seperti tanah kapur yang lembab. Selain itu, lingkungan desa banyak pepohonan sehingga walaupun matahari terik, suasana desa tidak gersang, penduduknya ramah, dan asri khas pedesaan.
Melihat data demografinya, Desa Wisata Jipangan memiliki 10 RT dengan total jumlah jiwa adalah 1911 jiwa, jumlah laki-laki sebesar 946 jiwa dan perempuan 965 jiwa (data 2021). Rata-rata penduduk yang sudah tua merupakan lulusan SMA. Mayoritas mata pencaharian dari penduduk Desa Jipangan adalah pengrajin kipas bambu, namun sejak pandemi Covid-19, hampir sebagian penduduk beralih profesi. Selain pengrajin, terdapat juga masyarakat yang menjadi pedagang, sebagai pengurus desa, dan mengelola objek wisata lainnya. Sayangnya, adanya pandemi Covid-19 ini tidak membuat SDM desa belajar cara pemasaran secara digital.
Penulis berharap, untuk membuat Desa Wisata Jipangan tetap menjaga label ‘desa wisata’ agar tidak pudar, maka diperlukannya inovasi baik dari segi SDM atau pun dari kerajinan yang ditawarkan dan lebih memanfaatkan media sosial untuk promosi desa wisata dan produk kerajinan, agar minat wisatawan semakin meningkat.Â
Referensi