Mohon tunggu...
Icuk Prayogi
Icuk Prayogi Mohon Tunggu... Dosen - R A H A S I A

Pencinta kucing--pegiat linguistik deskriptif--pengajar bahasa Indonesia dan linguistik--kontributor akun @kenalLinguistik :)

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

"-nya": Satu Suku Kata, Besar Efeknya (Bag.1)

19 Maret 2012   08:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:48 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1332156784328888169

[caption id="attachment_177203" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Saya yakin semua orang Indonesia pernah mengenal -nya dan memakainya dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang bilang bentuk itu imbuhan, tak sedikit yang mengatakan itu kata, banyak juga yang menyatakan partikel, bahkan ada juga yang bilang bentuk itu mubazir. Yang bilang bentuk itu mubazir adalah Ajip Rosidi, seorang pakar preskriptif bahasa Indonesia. Hmmm, sebenarnya, apa sih -nya itu? Lha wong bentuknya aja cuma tiga huruf, satu silabe (suku kata), dan kok begitu lazim orang Indonesia bilang -nya? Menurut saya, -nya itu hebat, kompleks, serta bermakna banyak. Padahal berdasarkan beberapa catatan ahli, -nya ini dulunya dibentuk dari kata dia. Kok bisa? Ingat kan, ada imbuhan di-/-nya? Itulah awalnya bentuk -nya berasal. Hipotesis ini sudah jamak diketahui dan diiyakan dengan berbagai bukti otentik sejak puluhan tahun lampau. Tapi, siapa yang menyusun hipotesis ini? Yang jelas, yang nemu-nemu hal kayak gini bukan orang Indonesia! Lho??? Iya, yang sangat peduli dengan bahasa Indonesia adalah orang-orang Barat, terutama orang Belanda dan Amerika Serikat. Beberapa tahun lalu, kajian tentang -nya sudah jadi disertasi oleh I Wayan Pastika (Udayana), tapi saya belum sempat membacanya. Jadi, tulisan ini cuma kira-kira saja mengenai betapa besar efek dari suku kata -nya! hehehe Tulisan dibagi beberapa bagian. Bagian pertama ini adalah tentang asal -nya, yang didasarkan atas analisis sintaktik sederhana. Yang dibicarakan bukanlah tentang bahasa baku, dan cara penulisan tidak akan mengikuti kaidah kaku, tetapi diusahakan mengikuti kaidah baku (dengan banyak pengecualian.hehehe). Selamat membaca! ^__^ Asal -nya Sebentar-sebentar, sebelum membahas -nya, saya ingin Anda yang membaca tulisan ini untuk melihat lagi KBBI atau buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI. Ada yang cukup aneh di sub bab kalimat pasif. Orang bilang, bahasa Indonesia yang baik itu aktif. Memang tidak salah, tapi apa iya, ini struktur asli bahasa Indonesia? Di buku-buku tentang pembelajaran bahasa Indonesia masa kini aneh, mereka menghindari atau kurang menyukai pembahasan bentuk pasif sih? Lebih banyak yang dibahas adalah afiksasi dan struktur aktif. Padahal dalam kehidupan sehari-hari, konstruksi aktif jarang dipakai.  Mereka hanya banyak bilang, pasif itu imbuhannya yang paling populer adalah di-. Nah, ini dia, bentuk di- ini sebenarnya berasalnya dari dia. Dengan penyesuaian tertentu karena perubahan zaman, dia kemudian melebur menjadi di-/-nya. Sisa-sisa perubahannya dapat dilihat dengan masih adanya bentuk ia yang tidak lagi bisa difungsikan sebagai Objek sebagaimana layaknya dia, bentuk di- yang boleh tanpa -nya, serta -nya itu sendiri. Hipotesis yang sulit dibantahkan adalah bahwa secara historis ternyata dalam bahasa Indonesia itu bentuk pasif kanonikalnya (umumnya) bukan di-, melainkan hadirnya pronomina melekat (mengklitik) secara wajib pada verba. Kenapa begini? Karena orang Indonesia agak risih mengucapkan pasif berverba yang berawalan di- apabila pronomina yang di sebelah kanannya adalah pronomina pertama dan kedua. Dengan kata lain, hanya pronomina ketiga saja yang natural mengisi fungsi Pelengkap di belakang verba berprefiks di-. Saya contohkan di bawah ini. a. ?Buku itu kemarin dibeli saya di Gramedia. b. ?Buku itu kemarin dibeli kamu di Gramedia. c. Buku itu kemarin dibelinya di Gramedia. d. Buku itu kemarin dibeli Budi di Gramedia. e. Buku itu kemarin dibeli seseorang di Gramedia. Kalimat a dan b di atas saya beri tanda tanya karena strukturnya memang benar dan sesuai kaidah TBBBI, tapi aneh. Jarang dipakai orang. Mengapa demikian? Inilah efek yang masih tertinggal dari persesuaian di- dengan pronomina ketiga sebagaimana yang terdapat di kalimat c, d, dan e. Dan konstruksi-konstruksi itu bernuansa pasif (atau ergatif? pasif nol?hehehe). Alih-alih memakai kalimat seperti a dan b, orang Indonesia asli lebih suka memakai kalimat di bawah ini: a1. Buku itu kemarin saya beli di Gramedia. b1. Buku itu kemarin kamu beli di Gramedia. Dapat Anda bayangkan apabila antara saya/kamu dan beli itu disela oleh prefiks bernuansa aktif meN-.Tentunya pasti tidak berterima (ditandai dengan asterik [*]): a2. *Buku itu kemarin saya membeli di Gramedia. b2. *Buku itu kemarin kamu membeli di Gramedia. Nah, konstruksi c, d, e, a1, dan b1 inilah yang saya sebut dengan konstruksi pasif "asli" bahasa Indonesia. Sementara itu, yang lain, misalnya verba berawalan teR- (contoh: Saya terjatuh) dan berimbuhan ke- (contoh: Saya ketilang) bukanlah bentuk pasif, tapi anti-aktif (ergatif). Oke, kembali ke permasalahan verba. Saya tambahkan lagi, dalam bahasa ilmiah, kita diajarkan untuk sebisa mungkin menghindari hadirnya kata ganti orang pertama dan kedua. Oleh karena itu, bentuk di- ini lebih sering disarankan agar unsur "agentif" pronomina dihilangkan. Maksudnya, biar terkesan objektif gitu...hehehe... berikut contohnya. f. Matematika sudah diajarkan sejak SD. Lalu, siapa yang mengajarkan? Pastinya orang ketiga!hehehehe.... (Atau jika yang dimaksud orang pertama atau orang kedua maka disebut sebagai pembalikan deiksis [deictic reversal] yang biasanya jadi kajian dalam Pragmatik). Mana hubungannya dengan -nya? Suku kata "-nya"-nya ke mana?? Hilang!!!! Gak boleh sama Pak Guru!  :p (bersambung) Contoh-contoh di atas hanya mengetengahkan bagaimana -nya (kata ganti orang ketiga) saja yang diterima di struktur pasif berprefiks di- sebagai awal tulisan corat-coret saja. Tulisan pertama tentang -nya ini hanya rekaan tntang bagaimana asal mulanya berdasarkan analisis Sintaktik dari dia, dan sementara ini Rene Van den Berg dan Adelaar masih saja berdebat berdasarkan analisis historis-fonetis.hehehe Sekadar cerita: Sudah banyak orang Barat yang meneliti bahasa Melayu. van Ophoijsen pada awal 1900-an menulis buku tentang bahasa Melayu, lebih jauh lagi  Frederick de Houtman (1603), Sebastian Danckaerts (1623), dan Johannes Roman (1655). Pada masa modern, siapa sih yang nggak kenal A. Teuw? Ada juga JWM Verhaar dari Belanda. Bahkan, orang Jepang Masayoshi Shibatani juga ikut-ikutan. Terakhir yang saya tahu adalah rombongan orang-orang Amerika Serikat. Sebut saja Marit Ann Kana, Sandra Chung, Alice Cartier, Paul J. Hopper, dan Keith McCune. Saya hanya menemukan nama Dendi Sugono, Hans Lapoliwa, M. Ramlan, Samsuri, Anton Moeliono, Soenjono Dardjowidjojo, Soepomo Poedjosoedarmo, STA, Sudaryanto, dan Bambang Kaswanti Purwo di kalangan penulis besar linguistik di Indonesia. Sebagian besar di antara mereka sudah meninggal dunia. Tak ada penemuan-penemuan lagi yang bermanfaat bagi pengembangan bahasa Indonesia dewasa ini. Yang ada hanyalah kekisruhan "kebakuan" di sana sini... :( Lalu, ORANG-ORANG INDONESIA YANG LAIN KE MANA?????

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun