Mohon tunggu...
Moch IchwanPersada
Moch IchwanPersada Mohon Tunggu... Seniman - Sutradara/Produser Film/Pernah Bekerja sebagai Dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Produser film sejak tahun 2011. Sudah memproduseri 9 film panjang termasuk nomine Film Dokumenter Terbaik FFI 2012, Cerita Dari Tapal Batas. Menjadi sutradara sejak 2019 dan sudah menyutradarai 5 serial/miniseri dan 5 film pendek. Mendirikan rumah kreatif Indonesia Sinema Persada dan bergiat melakukan regenerasi pekerja film dengan fokus saat ini pada penulisan skenario.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Pria yang Hidup Seperti Cinderella

13 Januari 2023   19:59 Diperbarui: 13 Januari 2023   20:19 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pria Yang Hidup Seperti Cinderella 

Tajuk berita periode 2005 banyak mengangkat soal masyarakat miskin yang berebutan dana BBM (Bahan Bakar Minyak). Pedih mendengar banyak dari mereka yang antri berjam--jam -bahkan ada yang meninggal-, hanya demi uang yang tak seberapa. Di Amerika, pada 1930-an, situasi serupa juga terjadi. Bayangkan, terdapat 15 juta pengangguran di seantero negeri. Depresi melanda membuat perekonomian nyaris ambruk.

Dan depresi menularkan efeknya ke mana--mana. Juga nyaris membuat rumah tangga keluarga di Amerika nyaris hancur. Untung saja itu tak terjadi pada James J Braddock. Petinju yang dihormati karena comeback yang mengesankan ini memang pantas untuk dikagumi. Wajar jika prestasinya menginspirasi banyak orang, termasuk sutradara Ron Howard. Kisah hidup Braddock sendiri memang sudah dramatis dan oleh Howard dalam "Cinderella Man", kisah itu digulirkan secara pas, tak berlebihan dramatisasinya, meski sebenarnya peluang untuk itu cukup besar. Sebagai sutradara yang cukup punya jam terbang, Howard bisa meredam ego membuat "Cinderella Man"  jadi kisah sederhana yang menyentuh. Dalam gambaran skenario buatan Cliff Hollingsworth, kisah Braddock sekeluarga 'hanya' kisah tentang kesempatan kedua, pentingnya arti keluarga dan sikap pengertian satu sama lain.

Cinderella Man membawa kita memasuki dunia Braddock, dari kehidupan berkecukupan hingga melarat dan nyaris tak mampu membayar listrik, atau sekedar membeli susu. Padahal dulunya, James (Russell Crowe) dan istrinya, Mae (Renee Zellweger) punya sebuah rumah mentereng. Tatkala depresi meluluhlantakkan ekonomi Amerika, kehidupan mereka pun berbalik 180 derajat. James tak lagi bisa mencari nafkah dari bertinju. Dan Howard memberi banyak ruang bagi penonton untuk memahami betapa beratnya perjuangan suami istri plus 3 anak yang masih kecil--kecil ini untuk bertahan hidup. Detil --detil kecil seperti si cilik yang ingin minum susu, padahal susunya sudah habis dan tak mampu dibeli, hingga Mae harus menambahkan menjadi sebotol penuh dengan air, jadi sangat mengharukan tanpa perlu ditingkahi alunan musik yang menyayat hati. Atau ketika James yang tak lagi punya uang rela mengemis pada promotor tinju sekedar untuk membayar tunggakan listrik, dijamin melelehkan air mata.


 Hidup Braddock berubah ketika ia diberi kesempatan bertinju lagi. Dan itu dimanfaatkannya dengan maksimal. Momen--momen inilah, ketika Braddock yang diambang kemiskinan bisa mengubah jalan hidupnya menjadi seperti sediakala, yang membuat Braddock berjulukan Cinderella Man. Julukan yang akhirnya membuat dirinya menjadi tumpuan harapan banyak orang. Pada era ketika susah terasa melilit, masyarakat memang butuh hero, dan Braddock adalah figur yang patut dikedepankan. 

Durasi yang cukup panjang toh tak membuat "Cinderella Man" membosankan. Howard pintar mengatur stamina layaknya seorang petinju tangguh di atas ring. Dan yang terpenting, ia masih punya kapabilitas besar menghadirkan tontonan yang menghibur dan berkualitas. Ia mengkoreografikan adegan tinju dengan dahsyat, tapi tak melewati batas, hingga membuatnya terasa real. Penderitaan yang dialami Braddock sekeluarga pun dipaparkan dari sudut pandang nan positif, bahwa sekeras apapun hidup bisa dilalui dengan kerja keras. Nilai--nilai itu yang tanpa sadar menyesap di dada ketika kita menyaksikan Braddock meng-kanvas-kan lawan--lawannya hanya agar anak--anaknya bisa minum susu. Ternyata, posisi keluarga bisa begitu penting di mata seorang pria jantan setangguh Braddock. Dari sinilah juga kita bisa menarik garis batas antara kejantanan dan ketangguhan. Braddock komplit memilikinya. Ia punya tanggung jawab yang sungguh--sungguh dalam melindungi keluarganya. Tak ada yang lebih pantas selain mengangkat topi buatnya.

*tulisan ini sudah pernah dimuat di buku 101 Movie Guide edisi I 2013.

Ichwan Persada adalah sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun