Catatan Tentang Nama Dan Agama
Â
Film punya takdirnya sendiri untuk berbicara pada penontonnya. Pada awalnya adalah sebuah gagasan, ia lantas akan menemukan bentuk untuk merumuskan lakunya. Dan "Cin(T)a" (2009) memang sudah ditakdirkan oleh sang sutradara sebagai film yang berjalan di jalur independen.
Dan disitulah letak daya magnetisnya. Ketika film indie kita masih bermain-main pada bentuk dan cara pengucapan, "Cin(T)a" berani masuk pada wilayah yang lebih jauh. Ia bertopang pada isi dan pada gagasan yang tak main-main. Bukan sebuah muatan yang bisa dibicarakan sambil lalu.
Disini Sammaria Simanjuntak yang menjadi sutradara dan juga menulis skenario (dibantu Sally Anom Sari) mengobrolkan dua hal 'besar'. Mereka ingin bertukar pikiran seputar nama dan agama. Nama bukan sekedar 'panggilan untuk seseorang' seperti kata Shakespeare. Ia adalah identitas, menjadi pembeda antara satu dengan lainnya. Dan agama juga pada hakikatnya nyaris seperti nama. Ia juga membuat manusia satu dengan manusia lainnya jadi terkotak-kotakkan. Dan agama tentu bermuara pada satu hal: Tuhan.
Gagasan besar bisa jadi bumerang jika bersatu padu dengan ego yang besar. Untungnya Sammaria dan Sally tahu diri. Mereka menempatkan diri seperti anak muda yang mempertanyakan dan mendebatkan seputar Tuhan dan agama. Maka jadilah dialog-dialog di dalam film ini, walaupun di beberapa titik mungkin terasa kering (juga artifisial), tapi tak lantas menjadi corong 'suara' bagi Sammaria dan Sally. Maka kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut Cina (Sunny Soon) dan Annisa (Saira Johan) pun terdengar layak di telinga. Tak terdengar terlalu pretensius, juga bombastis.
Dari nama kedua tokoh utama, juga adegan perkenalan keduanya yang menarik, "Cin(T)a" sudah memposisikan dirinya akan dibawa bergerak ke arah mana. Cina adalah seorang mahasiswa baru yang dideskripsikan sebagai warga keturunan Tionghoa. Dan Annisa adalah seorang mahasiswi senior yang merasa dikucilkan oleh lingkungannya. Persentuhan keduanya yang bermula dari niat Cina membantu Annisa menyelesaikan tugas akhir membawa mereka pada pergumulan pemikiran.
Dan keduanya memang mempertanyakan banyak hal di film, sebagaimana yang juga berkecamuk di benak sekian juta anak muda di Indonesia, juga di seantero dunia. Terutama mereka yang bermukim di wilayah yang seolah mendekatkan kekerasan dengan agama, padahal sesungguhnya agama hakikatnya berdampingan dan hidup tenteram dengan perdamaian.
Melihat Sammaria dan Sally begitu asyik mengobrolkan persoalan ketuhanan dan iman bisa jadi mengingatkan kita pada sosok Ahmad Wahib, seorang tokoh muda Islam yang mati di malam sepi pada akhir Maret 1973. Wahib terkenal ketika ia meninggal, karena ia intens merekam, mencatat, berdiskusi, mendengarkan tentang banyak hal yang berkaitan dengan persoalan tersebut semasa hidupnya di dunia yang terbilang singkat. Karena agama dan persoalan ketuhanan memang harusnya tak bisa berhenti untuk diobrolkan, ia harus terus dipancing berada di ranah publik untuk dikaji.