Setiap kali pemilu tiba, istilah "golput" atau golongan putih kembali mencuat. Golput merujuk pada individu yang memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Di Indonesia, fenomena ini sudah menjadi rahasia umum dari tahun ke tahun, ini mencerminkan rasa frustrasi masyarakat terhadap situasi politik yang dianggap tidak memberikan solusi bagi permasalahan bangsa.
Banyak orang beranggapan bahwa dengan tidak memilih, mereka sedang menunjukkan protes terhadap sistem yang mereka anggap rusak. Namun, apakah keputusan ini efektif? Faktanya, golput justru bisa memperburuk keadaan.
Jika tidak ada partisipasi aktif, siapa yang akan mengarahkan bangsa ini menuju perubahan? Golput bukanlah jawaban atas permasalahan yang kita hadapi. Sebaliknya, ia malah memperlemah demokrasi dan mengurangi peluang untuk memperbaiki kondisi politik.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 34,75 juta orang yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih (golput) dalam Pemilu 2019. Jumlah itu setara dengan 18,02% dari seluruh daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019 yang sebanyak 192,77 juta orang.
Jumlah pemilih golput pada Pemilu 2019 menurun 40,69% dibandingkan periode sebelumnya. Pada Pemilu 2014, jumlah pemilih golput mencapai 58,61 juta orang atau 30,22%.Â
Walaupun ada tren angka turun masyarakat yang bergolput ria. Namun, angka tersebut tetap menunjukkan bahwa puluhan juta masyarakat masih memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Hal ini menjadi sinyal bahwa kepercayaan terhadap sistem politik dan para kandidat masih perlu diperbaiki.
Fenomena golputisme tidak muncul begitu saja. Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi keputusan seseorang untuk tidak memilih. Salah satu alasan yang paling sering muncul adalah ketidakpercayaan terhadap politisi dan politik itu sendiri.Â
Masyarakat merasa kecewa karena sering melihat pemimpin yang terpilih tidak memenuhi janji-janjinya. Kasus-kasus korupsi yang terus terjadi hanya menambah rasa frustrasi ini. Sebagian orang berpikir, "Mengapa harus memilih jika akhirnya pemimpin hanya mementingkan dirinya sendiri?"
Alasan berikutnya adalah kekecewaan terhadap sistem demokrasi. Banyak pemilih merasa suaranya tidak berarti. Mereka melihat bahwa, terlepas dari siapa yang mereka pilih, perubahan tidak pernah benar-benar terjadi. Kesan bahwa sistem politik hanya menguntungkan kelompok tertentu semakin memperkuat rasa putus asa ini.
Selain itu, kurangnya informasi tentang calon atau program politik juga menjadi alasan besar. Beberapa orang merasa bingung memilih karena mereka tidak mengenal calon yang bersaing atau tidak memahami visi dan misi yang diusung. Dalam kondisi seperti ini, memilih untuk golput tampaknya menjadi pilihan yang lebih mudah.
Dampak Negatif Golputisme