Sang Penyair Wiji Thukul menghilang sejak 1998 meninggalkan anak dan istrinya serta sajak sajak perlawanan miliknya. Wiji Thukul adalah salah satu aktivis yang hilang diakhir masa kekuasaan orde baru. Diangkat dari kisah nyata seorang wiji thukul aktivis politik yang syairnya ditakuti rezim kala itu hingga menjadi misteri. Sang sutradara Yosep Anggi Noen yang berlatar belakang akademik sarjana politik tak heran film ini bernuansa politik.Pada film ini penonton akan dibawa pada alur sejarah apalagi wiji thukul harus dari lari kota ke kota dan berinteraksi dengan berbagai macam masyarakat dengan latar belakang yang berbeda. Suasana kala itu ditahun 1996 hingga 1998 dimana puncaknya kejatuhan rezim orde baru. Meski menjalani pelarian dengan penuh ketakutan, Widji Thukul tetap menorehkan karya-karya kritisnya lewat puisi dan cerpen. Widji Thukul juga kerap berganti identitas untuk mengelabuhi petugas administrasi.
Di Solo, Sipon istri Widji Thukul hidup was-was bersama kedua anaknya. Sipon selalu ditekan dan diawasi oleh polisi,beberapa kali Sipon juga diinterogasi terkait keberadaan suaminya. Dalam film ini juga dituturkan puisi puisi seperti “Istirahatlah Kata-Kata” itu sendiri. Film ini menampilkan ditampilkan kisah rumah tangganya yang harus jadi korban intain dan mata-mata para intel bahkan buku-buku Widji Tukul banyak yang harus di sita. Kabar itu datang padanya saat sedang lari di sebuah kota berbeda tepatnya di Pontianak Kalimantan Barat tahun 1996 tepatnya.
Widji Tukul yang menghabiskan banyak buku memanglah ia juga seorang penyair kuat. Dalam pelariannya ia tetap menuliskan dan melahirkan sajak-sajak peralawanannya. Ia memang bukan penyair ulung bahkan maestro yang dimiliki negri tidak seperti Taufik Ismail, Ainun Najib bahkan Gus Mus yang jadi idolanya. Setidaknya ia jadi tokoh yang menarik untuk diikaji dalam dinamika perpolitikan tanah air lewat perlawanan syair-syair yang ia ciptakan.
Wiji Tukul dalam filem yang ditangkap sebagai seorang buronan yang syairnya jadi api penyebabnya. Ia bersyair dan menjadi penyair tanpa takut dengan tirani sekalipun. Tulisnya, istrahatlah kata-kata membawa pesan kuat bahwa penyair juga memiliki masa akhirnya. Bukan karena tak mampu mencipta sajak lagi tapi tragedi bahkan takdir yang ada menuntutnya untuk beristrahat. 'Istrahatlah Kata-Kata' membawa esensi mendalam bagi penyairnya dan penyair yang mencintai nasib masyarakat kecil di manapun bahkan penyair masa depan nanti.
Keberanian Wiji Thukul dalam bersuara harus kita contoh dalam masa pemerintahan sekarang. Pemerintah mulai membatasi informasi dari media terhadap masyarakat dengan membuat revisi UU tentang Penyiaran. Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) menjadi pasal yang paling disorot lantaran memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Draf revisi UU tentang penyiaran ini juga menuai kontroversi.Seharusnya Pemerintah mendorong hak kebebasan berekspresi atau hak kebebasan berpendapat sebagaimana dituliskan dalam Pasal 23 ayat 2 yang berbunyi “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak meupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”
Pemerintah tidak boleh membatasi media ataupun masyarakat dalam hal kebebasan berekspresi.
Wujudkan Indonesia yang Demokratis dalam hal berkespresi maupun berpendapat. Dengan begitu keterbatasan berekspresi yang dirasakan wiji thukul dalam film istirahatlah kata - kata tidak terulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H