"Google dapat mengembalikan 100.000 jawaban kepadamu, pustakawan dapat mengembalikan jawaban yang benar." Neil Gaiman
Â
      Begitulah bisik Neil Gaiman yang merupakan seorang penulis asal Inggris, tentunya sudah banyak buku-bukunya terselip di perpustakaan. Bagaimana dengan suara-suara buku lain? Layaknya sebuah musik harus diputar hingga didengarkan. Setiap frasa, kalimat, serta paragraf dari buku-buku tersebut perlu belaian dan dinikmati oleh sepasang mata. Namun sebuah pertanyaan menyeruak, lantas perlukah orang-orang ke perpustakaan? Setelah mengetahui bahwa ada tantangan di depan mata tentang peran kaum milenial memahami perpustakaan.
      Setidaknya ada dua permasalahan dalam pandangan dualisme. Pertama, sebuah tulisan tentang arus globalisasi telah nyata menjadi salah satu penyebab yang mampu menyeret masyarakat untuk menjadi pengabdi konsumerisme. Dilansir pada laman https://jatim.antaranews.com/ terdapat pendapat yang menggambarkan bahwa mangsa empuk konsumerisme merupakan anak-anak serta kaum milenial (remaja). Akibatnya pemahaman kebanyakan kaum milenial berporos pada pola pikir, gaya hidup, dan hal-hal menyenangkan diri. Kedua, lemahnya literatur edukasi (pendidikan) setiap individu dalam menangkap pesan atau informasi. Semisal sebuah tata tertib perpustakaan di berbagai yang bernapas sama yakni seluruh pengunjung diharap tenang. Jangan-jangan itu menjadi sesuatu yang kaku dan jargon magnet penolakan bagi mereka.
      Upaya perpustakaan di setiap sekolah dan berbagai tingkat daerah tentu sudah menangkap hal-hal di atas. Gebrakan inovasi perpustakaan seperti perpustakaan keliling, perpustakaan daring, hingga perombakan ruangan perpustakaan yang ciamik kerap dijumpai. Dari upaya-upaya tersebut perpustakaan menyuarakan secara denotatif yakni apabila di luar menjadi hedonisme dalam kebebasan berpikir maka di perpustakaan orang-orang akan disesatkan oleh kebebasan berpikir dan mencerdaskan kualitas manusia lebih tinggi.
      Kebebasan erat kaitannya dengan gambaran melaju dengan cepat dalam segala hal. Apabila kaum milenial terus terinpirasi dalam perjalanan tanpa suatu bekal maka ketersesatan atau salah berpikir menjadi buana permasalahan. Perpustakaan bak tempat singgah pengembara-pengembara untuk beristirahat, di sana akan tersedia mata air dan perbekalan yang layak bagi pengembara hal itu harus diketahui oleh mereka.
      Kita bayangkan kaum milenial yang menjadi pengembara untuk menuntaskan misinya menjadi seseorang yang sukses. Apabila terus berjalan di gurun pasir tanpa beristirahat maka menyerah dan fatalisme menjadi tempat pemberhentiannya. Sedang bila berkenan berhenti sebentar diperpustakaan kaum milenial akan disuguhkan kompas atau petunjuk-petunjuk yang menyesatkan mereka pada kebenaran. Berdasarkan gambaran itu kini kita tahu mengapa perpustakaan diperindang layaknya taman dan tempat yang sejuk.
Mata angin dan kesejukan sebagai metafor ilmu pengetahuan serta tempat berpikir. Kembali kepada nasib buku-buku diperpustakaan mereka menunggu tuannya pulang dan berdiskusi. Perpustakaan turut bertransformasi menjadi sebuah struktur milenial, tidak sekadar mengikuti namun menuntun untuk menjadikan kaum milenial yang berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H