Pluralisme merupakan sebuah pemikiran yang kontemporer. Sifat kebenarannya relatif, dalam artian benar untuk dirinya belum tentu benar untuk orang lain. Pemikiran ini menjadi wacana tak pernah habis diperdebatkan antara kaum agamawan dan nasionalis. Contohnya bagi agamawan (MUI) yang mengeluarkan fatwa untuk pluralisme. Hal ini beralaskan bahwa pluralisme merupakan pemikiran yang menganggap semua agama sama dan ini tentu berseberangan dengan kepercayaan atau kaidah umat beragama. Di dalam doktrin atau dogma agama biasanya yang dianggap benar adalah salah satu agama yang dianutnya. Sedangkan bagi kaum nasionalis faham ini merupakan titik temu dari perbedaan menuju persamaan. Persamaan yang diartikan sebagai bentuk kepasrahan manusia kepada Tuhannya (transendensi) dan juga aspek manusiamempunyai hak yang sama.
Bagi kalangan agamawan yang dianggap oleh kaum nasionalis sebagai ulama yang kolot (konservatif) sedangkan bagi mereka yang mengaku sebagai kaum nasionalis mengklaim dirinya sebagai kaum liberal. Dalam percaturan pemikiran ini berakibat efek diskursus yang sangat panjang. Padahal dalam perkembangannya pemikiran ini belum ada pada zaman nabi (umat terdahulu). Sehingga pemikiran ini merupakan bentuk ijtihad yang dipelopori oleh intelektual muda. Intelektual muda lebih bersifat pro-agresive.
Jika semua agama dianggap sama, maka pluralisme disana tidak ada bentuk perbedannya dan ini tidak dipahami oleh kaum agamawan saat ini. Kasus seperti Ahmaddiyah yang dibantai oleh masyarakat pribumi Pandeglang karena masyarakat tidak memahami esensial pluralisme ini. Dalam konteks kekinian, kebhinekaan Indonesia mulai merapuh dan itu ditandai dengan pertautan antara perang politik dan agama. Sehingga, masyarakat Indonesia saat ini saling kafir mengkafirkan. Tentunya hal ini berakibat pada konflik sosial yang berkepanjangan.
Seharusnya, peran masyarakat dan agamawan bisa saling memahami satu sama lain dalam perbedaan walaupun dalam ranah agama. Jika pluralisme itu dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia, maka kemungkinan di masa mendatang tidak mempunyai kebhinekaan lagi. Pluralisme nampaknya mempunyai tempat yang strategis dalam membentuk kepribadian kaum muda di era masa kini. Sehingga kaum muda yang tercemin sebagai Mahasiswa LSM ornop-ornop menggembor-gemborkan isu multikulturalisme dan sekulerisme yang saling berkaitan dengan pluralisme. Hal ini menjadi wacana yang sangat hangatdiperbincangkan saat ini.
Dalam perkembangannya, ide pluralisme menjadi titik perhatian kaum muda, sedangkan bagi yang menolaknya mayoritas golongan orang tua. Adapun konflik perbedaan wacana pemikiran pluralisme baik yang pro maupun yang kontra harus saling mengerti satu sama lain. Hal ini dikarenakan pemikiran pluralisme belum sepenuhnya diterima oleh sekelompok masyarakat khususnya orang awam dan kelompok fundamentalis. Ide-ide ini sebaiknya disosialisasikan kepada masyarakat banyak jika pemahaman ini sebagai win solution kebhinekaan Indonesia saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H