I am gonna start to move, I am gonna start to move,
Moving on, moving on, moving on…
Sebelum menyukai dan menempatkan film ini dalam salah satu list teratas film Indonesia yang saya sukai sepanjang tahun 2014, saya sudah lebih dulu jatuh hati pada lagu yang menjadi soundtrack film ini sehari sebelum “Assalamualaikum Beijing” mulai ditayangkan di bioskop. Ridho Rhoma yang identik sebagai penyanyi dangdut, agaknya cukup berhasil menghapus image itu dalam lagu ini. Yang jelas, saya suka lirik lagu pada chorus dan reffnya. Walhasil, tak sadar pula saya terus-terusan menyenandungkan kata “moving on, moving on, moving on”. Coba saja tanya sahabat saya, Najmi (dia meresensi filmnya loh di link ini Review Najmi). Yaaa, mungkin, kata itu sedang mewakili isi hati saya. #tsaaah
Oke, mari moving on pada filmnya :D
Di tengah derasnya arus film-film nasional maupun internasional yang tayang belakangan ini dengan membawa nilai-nilai kebaratannya (perilaku menyukai sesama jenis, menggunakan pakaian seksi, menunjukkan adegan erotis dan romantis namun penuh syahwat), film “Assalamualaikum Beijing” (AB) hadir membawakan angin segar bagi para penikmat tayangan sehat, edukatif dan informatif. Film ini sendiri mengambil Beijing sebagai lokasi utama proses syuting selain kota-kota lain di China dan Indonesia.
Sebenarnya, menurut saya sendiri, alur cerita yang disuguhkan film ini simpel, sederhana, nggak neko-neko, nggak berbelok-belok, zigzag dsbnya #halah! Mungkin lebih asik kalau saya menjabarkan alasan kenapa saya menyukai film ini dalam bentuk poin-poin kali ya? Saya nggak berniat meresensi sih, tujuan saya membuat tulisan ini adalah untuk mengajak pembaca tulisan ini juga ikut menonton dan mendukung film-film seperti ini. Oke, so let’s move on! :D
11 alasan kenapa kamu harus menonton film “Assalamualaikum Beijing” :
1. Konten film yang diangkat dari novel best seller Mbak Asma Nadia ini sangat edukatif. Kenapa saya menggunakan kata “sangat”, karena hingga saat ini masih sedikit sekali film-film yang memiliki konten edukatif mulai dari tampilan pemain, dialog hingga scene-scenenya. Semua menunjukkan bagaimana seharusnya kita sebagai warga Indonesia yang memiliki adat ketimuran, khususnya para Muslim untuk berperilaku, bertutur dan berinteraksi dengan baik.
2. Film ini dibuat dengan semangat dakwah amah (apa pulaaa itu? :D). Mengenalkan nilai kebaikan kepada masyarakat luas. Jadi ini bagian dari dakwah (menyampaikan kebaikan #tsaaah) melalui sektor perfilman. Selama ini industri film nasional cenderung dikuasai jenis film yang merusak akidah dan moral masyarakat. (Cahyadi Takariawan)
3. Akting para pemain film yang memukau. Sebagai artis yang sudah beberapa kali memainkan peran sebagai perempuan berkerudung, akting Revalina sudah tidak diragukan lagi. Debut Morgan Oey sebagai Zhong Wen “Chung chung” pun tidak mengecewakan. Ia sukses membuat saya menyukai dan jatuh cinta pada karakternya yang bersahaja namun pembelajar sejati. Begitu pula Laudya Cynthia Bella (Sekar) dan Deddy Mahendra “Desta” (Ridwan), mereka berhasil menghidupkan suasana film ini menjadi lebih ceria dibalik kesyahduan cerita pemain utamanya. Ibnu Jamil (Dewa) sebagai tokoh antagonis juga berhasil membuat saya cukup greget melihat kelakuannya pada Asma dan istrinya. Well, meskipun dalam keseharian tokoh-tokoh utamanya belum berjilbab dan perangainya tidak sesuai dengan film, saya selalu optimis dan berdoa semoga karakter-karakter baik di film yang mereka perankan bisa menginternalisasi dalam diri mereka sedikit demi sedikit dan someday mampu mengubah mereka. Ah, begitupun Zhong Wen, love pisan eta mah... #plak! #abaikan