- Dari kecil sudah dididik demikian.
- Perilakunya dijustify guru agamanya (dan agamanya).
- Pergaulannya sempit dan homogen, jadi nggak pernah lihat kehidupan orang yang berbeda dengannya. Katak dalam tempurung.
- Kurang pendidikan, jadi gampang dibodohi orang yang punya tujuan tertentu.
- Herd mentality. Semua begitu, kenapa saya enggak. Kalo mayoritas berarti benar.
- Victim mentality. Harus ada pihak lain yang disalahin atas kemalangan dirinya atau keinginan yang tidak mampu dia capai.
- Toleransi adalah produk masyarakat maju dan modern yang mengedepankan penghargaan akan perbedaan. Otak masyarakat terbelakang yang egois, bakal error dan nge-hang kalo dikasih konsep toleransi. Gabungin semuanya, komplit deh. Sumber
Dari penjelasan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa, ketika seseorang tidak mampu atau enggan membuat dirinya terjun untuk bersosialisasi dengan beragam orang dengan latar belakang suku, agama, ras, pendidikan yang berbeda, akan menciptakan sebuah karakter bigot, dimana dia hanya mampu mentoleransi segala macam hal, yang menurutnya dan lingkungan sosialnya berkata demikian, dan menganggap orang lain yang tidak sepaham adalah salah / musuh / harus diubah pandangannya agar sesuai dengan pendapatnya, hal seperti ini berakar dari pola pikiran yang tertutup (close minded).
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Untuk tidak terjerumus menjadi seorang bigot, bukan berarti kita harus meninggalkan atau tidak percaya pada ajaran agama. Beragama bukan berarti kita mengesampingkan akal sehat, maupun menyempitkan pergaulan dengan hanya mau bersosialisasi dengan orang-orang yang satu agama saja, apalagi sampai menutup mata dan mengabaikan toleransi antar umat beragama.
Yang harus kita lakukan adalah, menyadari bahwa, jika kita ingin mewujudkan peradaban manusia yang modern dan maju, salah satu caranya adalah dengan belajar menjadi manusia yang menjunjung tinggi rasa toleransi, berpikir open minded, bijak dalam menggunakan media social, membiasakan diri untuk kroscek terlebih dahulu sebelum menyebarkan suatu berita, berpikir sebelum bertindak, tidak gampang terprovokasi pada hal-hal yang bisa menimbulkan perpecahan, terutama yang berpotensi menimbulkan konflik.
Bagaimana caranya?
Dengan memiliki pergaulan yang luas, kita bisa melakukannya dengan menambah inner circle (lingkaran pergaulan) yang banyak dan beragam. Langkah mudah yang bisa kita lakukan adalah, bergaul dengan orang-orang yang memiliki minat dan hobi yang sama. Kita semua pasti memiliki hobi yang banyak dan beragam, dengan hal tersebut, mari kita libatkan diri kita untuk banyak berinteraksi, berdiskusi, bergaul, melakukan kegiatan-kegiatan positif dengan banyak orang, hal tersebut akan membuat kita terbiasa mengenal karakter, bisa berdiskusi dengan orang-orang yang mempunyai pola pikir dan pendapat yang berbeda, bisa bertoleransi dengan orang-orang yang memiliki ras, budaya, kebiasaan yang berbeda.
Meskipun masyarakat Indonesia mayoritasnya beragama Islam, ini tidak serta merta membuat Indonesia menjadi negara yang berlandaskan “arab”. Indonesia terbentuk oleh Bhinneka Tunggal Ika, dimana beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan dari Bangsa dan Negara Republik Indonesia, jangan sampai fanatisme membutakan mata hati kita, apalagi sampai memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa, salam NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H