Mohon tunggu...
Icha Syifa Yuldani
Icha Syifa Yuldani Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Psikologi Perkembangan Manusia Sepanjang Rentang Hidup

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Fenomena Bilingualisme: Code Switching dan Code Mixing di Ranah Daring

6 Januari 2025   09:19 Diperbarui: 6 Januari 2025   10:46 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bagi pengguna aktif media sosial, seperti X, Instagram, hingga Facebook tentu sudah tidak asing dengan berbagai macam situasi dan isu yang terangkat dan hangat diperbincangkan. Tidak jarang pula banyak netizen yang berbagi pengalaman, skill, maupun ilmu yang dimilikinya sebagai bentuk konten edukasi. Semua itu lebih banyak dibuat dalam bentuk tulisan, cuitan, dan feed yang dapat dilihat dan dengan mudah dikomentari oleh banyak orang. Setiap pengguna memiliki hak dan kebebasan dalam berpendapat dan merespon sebuah topik dengan tetap mempertimbangkan dampak dan risiko digitalnya.

Ada hal menarik lainnya yang terlihat di media sosial, yaitu kecenderungan percampuran bahasa dalam sebuah tulisan, seringkali adalah campuran penggunaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Fenomena ini lebih banyak ditemukan misalnya, di X, ketika seseorang menyampaikan pendapatnya melalui cuitan. Pola peralihan tulisan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris tergantung pada si penulis, biasanya bertujuan untuk memudahkan penyampaian dan memaksimalkan batas maksimum karakter tulisan. Akan tetapi, sebagian pembaca--yang juga dapat memberikan komentar--juga pernah mempertanyakan mengapa harus mencampuradukkan bahasa ketika menulis. Sebagian orang berpendapat jika alangkah lebih baik menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris sepenuhnya dari awal hingga akhir. Pada akhirnya, percampuran bahasa ini terkadang menjadi sebuah isu tersendiri.

Sebagai masyarakat Indonesia yang memang cenderung bilingual dengan kemampuan berbahasa daerah dan Bahasa Indonesia, tidak mengherankan apabila sebagian masyarakatnya juga memiliki kemampuan multilingual karena berbagai faktor, seperti budaya (misalnya Bahasa Mandarin pada etnis Tionghoa di Indonesia), pendidikan dan karier (Bahasa Jepang hingga Bahasa Inggris), dan sebagai mayoritas masyarakat muslim sehingga Bahasa Arab juga dipelajari meskipun tidak secara aktif. Maka, masyarakat Indonesia memiliki potensi yang tinggi untuk mempelajari beberapa macam bahasa. Oleh sebab itulah, penggunaan beberapa bahasa ini tidak hanya terjadi pada percakapan langsung, namun juga dapat melalui interaksi di media sosial.

Code switching (peralihan kode bahasa) dan code mixing (percampuran kode bahasa) merupakan istilah yang dapat menggambarkan fenomena ini. Perbedaan di antara keduanya berdasarkan Wei (1998, dalam Crdenas-Claros & Isharyanti, 2009) adalah apabila pergantian kodenya berada pada atau di atas level klausa, maka itu disebut code switching. Sedangkan, code mixing merujuk pada pergantian kode di bawah klausa. Artinya, jika seseorang berganti bahasa di dua kalimat yang berbeda, maka itu adalah code switching. Sedangkan, code mixing adalah ketika seseorang menggunakan dua bahasa yang tercampur dalam satu kalimat, dan inilah yang seringkali ditemui di media sosial.

Identifikasi dan studi terkait kecenderungan penggunaan dua bahasa--utamanya Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris di ranah daring atau media sosial memang belum banyak dikaji, karena istilah code switching dan code mixing sendiri lebih banyak dipakai dalam konteks interaksi verbal. Terlebih lagi, penggunaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris secara dominan memperlihatkan bahwa bahasa nasional dan internasional dirasa lebih mudah dipakai dan dijangkau oleh lebih banyak orang di media sosial dibandingkan mencampurkannya dengan bahasa daerah yang tersegmentasi. Bahkan, jika menemukan lebih jauh dalam berbagai konteks, akan ditemui pula code switching dan code mixing dalam beberapa bahasa dan aksara, misalnya Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Korea, atau Bahasa Jepang. Fenomena ini menunjukkan betapa luas dan kreatifnya penggunaan bahasa di ranah daring di masyarakat Indonesia.

Selain berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah, masyarakat Indonesia juga mempelajari bahasa asing sebagai bentuk second language acquisition. Bahasa Inggris merupakan sebuah bahasa ketiga yang dipelajari melalui formal maupun informal. Proses pembelajaran bahasa ini tentu tidak hanya dapat dilakukan secara teoritis, namun juga praktis. Oleh sebab itulah, kecenderungan code switching dan code mixing di media sosial juga merupakan upaya pembelajaran bahasa bagi sebagian orang. Sebagian lainnya bisa jadi memang memiliki kebiasaan atau budaya dalam menggunakan bahasa. Oleh sebab itulah, percampuran bahasa ini bersifat variatif, terlebih bagi negara Indonesia yang menduduki peringkat kedua sebagai negara yang memiliki banyak bahasa (Annur, 2023).

Penggunaan code switching dan code mixing masih seringkali dipandang negatif, yang paling terlihat adalah anggapan bahwa orang yang mencampur bahasa hanya bertujuan untuk pamer, dianggap pintar, dan lain sebagainya. Padahal, selain sebagai bentuk belajar, code switching dan code mixing dalam berbahasa juga memiliki manfaat pada kognitif. Penelitian Kheder & Khan (2021) menemukan bahwa frekuensi code switching dapat menunjukkan pengurangan kesalahan dan peningkatan akurasi penggunaan bahasa. Selain itu, pengalaman dalam melakukan code switching juga dapat mempengaruhi respon otak saat mendapati peralihan bahasa (Blackburn & Wicha, 2022). Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin berpengalaman menggunakan dua bahasa--meskipun pada prosesnya dilakukan peralihan atau percampuran bahasa, individu akan semakin familiar dengan bahasa tersebut dan terjadilah peningkatan berbahasa.

Media sosial merupakan salah satu sarana masif yang dapat digunakan individu untuk mengembangkan kemampuan bahasanya, terutama secara tulisan. Terlepas dari beragam pro kontra yang timbul, penggunaan code switching dan code mixing memfasilitasi potensi bilingualisme dan multilingualisme masyarakat Indonesia. Oleh sebab itulah, jangan takut mencampur bahasa hanya karena tidak ingin mendapatkan stigma tertentu. Belajar bahasa dapat dimulai dan dilakukan di mana saja dan kapan saja.

Referensi:

Annur, C. M. (2023, Maret 28). Indonesia peringkat kedua negara dengan jumlah bahasa terbanyak dunia. https://databoks.katadata.co.id/infografik/2023/03/28/indonesia-peringkat-kedua-negara-dengan-jumlah-bahasa-terbanyak-dunia

Blackburn, A. M., & Wicha, N. Y. Y. (2022). The effect of code-switching experience on the neural response elicited to a sentential code switch. Languages, 7(3), 178. https://doi.org/10.3390/languages7030178

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun