Mohon tunggu...
Risya AR
Risya AR Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

BPJS Kesehatan Defisit, Salah Siapa?

25 Maret 2017   17:51 Diperbarui: 14 Agustus 2017   14:54 3203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi laporan keuangan. (Thinkstock/alzay)

Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu aspek penting bagi kehidupan. Bila sistem kesehatan di suatu negara tidak diperhatikan, jangan berharap negara itu akan maju. Hal ini yang menjadikan kesehatan begitu diperhatikan di berbagai negara. Indonesia, salah satunya, sedang berusaha membangun sistem kesehatan yang bisa terjangkau oleh seluruh rakyat.

Mungkin kalimat di atas akan membuat beberapa orang mengangkat alisnya. Ya, terdengar begitu idealis, tapi jangan lupakan frasa “sedang berusaha membangun”. Memang, saat ini sistem kesehatan di Indonesia belum sebagus negara-negara maju, bahkan negara-negara tetangga. Namun, sebagai warga negara Indonesia ini, apa yang telah kita lakukan untuk memperbaikinya? Tidak, tunggu dulu. Apa yang kita ketahui mengenai masalah tersebut? Apakah keburukan pelaksanaannya? Atau komplain-komplain yang kita baca di media? Pertanyaan terakhir di paragraf ini, apakah informasi tersebut telah kita dapatkan seutuhnya, atau hanya sepotong-sepotong?

BPJS

Indonesia merupakan negara yang cukup luas dengan jumlah penduduk yang berjumlah 250 juta jiwa. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja yang keras untuk memperbaiki segala aspek kehidupan di negara ini, salah satunya kesehatan. Pemerintah, dalam rangka menjangkau pelayanan kesehatan ke seluruh rakyat Indonesia, membuat Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 tersebut, SJSN diselenggarakan dalam bentuk asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib.  Kini Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dibuat sebagai pelaksana teknis Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menurut UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial dan UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS serta Peraturan Presiden No. 12 tahun 2013 mengenai Jaminan Kesehatan. Harapannya, program ini dapat menjangkau masyarakat secara menyeluruh di tahun 2019, yaitu ketika seluruh masyarakat Indonesia memiliki JKN-KIS (Jaminan Kesehatan Nasional - Kartu Indonesia Sehat).

Berbicara mengenai jaminan sosial untuk masyarakat, kita semua tahu bahwa di Indonesia, rakyat begitu heterogen dengan tingkat ekonomi yang berbeda-beda, dan kesenjangan yang cukup tinggi. Oleh karena itu, kepesertaan BPJS dibagi menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI), Pekerja Penerima Upah (PPU), Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau Peserta Mandiri, dan Bukan Pekerja. Dari data di www.bpjs-kesehatan.go.id, terhitung hingga 3 Maret 2017, peserta program JKN telah berjumlah 174.777.376 jiwa (sekitar 69% dari total penduduk Indonesia) dengan peserta PBI sebesar 108.409.780 jiwa baik yang dibiayai dari APBN maupun APBD. Jadi, 62% dari total peserta program JKN dibiayai oleh negara dan sisanya (38%) adalah peserta PPU, PBPU atau Mandiri, dan bukan pekerja.

Di tahun 2016, pemerintah telah mendanai BPJS sebesar Rp6,8 triliun yang sebelumnya Rp5 triliun di tahun 2015. Bayangkan Rp6,8 triliun untuk mendanai khususnya peserta PBI, yang jumlahnya lebih dari setengah peserta JKN itu. Rp6,8 triliun memang besar. Cukup besar bila kita melihatnya hanya sebagai materi. Namun, bila kita melihat dana tersebut untuk membiayai 108 juta jiwa, tentu tidak akan cukup terutama untuk penyakit-penyakit yang membutuhkan biaya penanganan yang besar. Akibatnya, bila kita lihat di laporan keuangan tahun 2015, BPJS memiliki total liabilitas sebesar Rp13,7 triliun dengan aset Rp4,7 triliun.

Jauh sekali bukan, antara liabilitas dan asetnya?

Lalu apakah hal ini mengkhawatirkan? Tentu. Lalu, bagaimana usaha pemerintah dan BPJS untuk mensiasatinya?

Dari data yang saya kumpulkan, saya melihat beberapa usaha yang dilakukan, dimulai dari usaha dasar (dibentuk sebagai prinsip penyelenggaraan) hingga ke antisipasi setelah terjadi defisit:

1. Prinsip Kegotongroyongan

Prinsip nomor satu dari penyelenggaraan BPJS adalah prinsip kegotongroyongan. Berdasarkan UU No. 24 tahun 2011, “Yang dimaksud dengan “prinsip kegotongroyongan” adalah prinsip kebersamaan antar Peserta dalam menanggung beban biaya Jaminan Sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap Peserta membayar Iuran sesuai dengan tingkat Gaji, Upah, atau penghasilannya.”  Tentu, ini hanya usaha dasar dari BPJS, yaitu kewajiban pembayaran dari peserta. Mungkin orang yang membacanya akan berkata “Tentu saja ini menjadi prinsip dasar! Ini bukan usaha spesifik untuk mengatasi masalah. Ini hanya prinsip formalitas yang pada kenyataannya tidak menyelesaikan ataupun mencegah masalah terjadi”. Melihat defisit yang begitu besar, pasti banyak orang yang mempertanyakan kerja BPJS dan berpikir seperti ini. Namun, perlu diingat bahwa dasar dari prinsip ini tidak sepenuhnya buruk.  Hal yang paling sering dan paling menyenangkan untuk dilakukan manusia secara naluriah adalah melihat kekurangan dari luar (benda, manusia, sistem, dsb). Namun, seringkali lupa untuk melihat diri sendiri. Maksud dari penulis di sini adalah, kita sudah tahu prinsip dan sistemnya itu bagaimana, namun dalam aplikasinya, masih ada orang-orang yang tidak melakukan kewajiban sebagai peserta JKN-KIS, yaitu membayar premi. Padahal, dengan pembayaran yang tepat waktu dan berkala, meskipun peserta itu tidak sedang sakit, ia akan membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan. Di lain waktu, bila peserta itu sakit, tentu ia akan mendapatkan manfaatnya juga.

Prinsip kepesertaan bersifat wajib, selain ditujukan untuk menjamin kesehatan nasional bagi seluruh rakyat Indonesia, juga sebenarnya mendukung prinsip kegotongroyongan agar semakin banyak yang bisa bergotongroyong untuk pembiayaan pelayanan kesehatan. Bila kita perhitungkan misalnya untuk 1 orang, 1 kali cuci darah adalah Rp1 juta. Dalam satu bulan, ia melakukan 8 kali cuci darah. Di sisi lain, misal dirata-ratakan pembayaran oleh 1 orang dengan premi Rp80 ribu per bulan, maka 100 orang yang lain telah membantu pembiayaan pengobatan orang yang membutuhkan cuci darah ini. Bila 100 orang tersebut tidak membayar sepenuhnya atau menunggak? Sayang sekali, BPJS harus menambahkan lagi liabilitasnya.

2. Pembagian Tanggungan

Pemerintah yang menanggung SJSN ini bukan hanya pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah. Contohnya, Pemprov DKI Jakarta telah menetapkan Rp800 miliar untuk membantu 3 juta warga DKI Jakarta yang juga menjadi peserta PBI. Ya, sebanyak itu dana yang harus dikeluarkan dalam dunia kesehatan. Mungkin akan timbul kekhawatiran dari penggunaan dana ini. Tetapi, bila kita tinjau dari sistem asuransi diberlakukan oleh BPJS ini, sebenarnya sistemnya adalah asuransi sosial, bukan komersial. Salah satu perbedaan dari kedua asuransi ini adalah asuransi sosial tidak mencari profit atau keuntungan. Maka, sebenarnya adalah kewajiban juga bagi pemerintah untuk mendanai peserta PBI agar tujuan dari SJSN juga tercapai. Untuk pengelolaan dananya, mari kita kawal saja dengan terus mengikuti perkembangannya di web www.bpjs-kesehatan.go.id

3. Optimalisasi Usaha Preventif-Promotif

Mungkin kita akan bingung mengapa banyak sekali dana yang dikeluarkan. Tapi, sekali lagi, biaya penyembuhan suatu penyakit memang mahal. Kita sering mendengar Lebih baik mencegah daripada mengobati. Selain karena akan ada rasa sakit dari penyakit itu, biaya yang dikeluarkan juga lebih besar untuk mengobati penyakit. Oleh karena itu, sebenarnya belakangan BPJS juga mengupayakan kegiatan pencegahan penyakit seperti deteksi dini penyakit kanker serviks.

4. Mengoptimalkan Pembayaran dan Meningkatkan Kepesertaan JKN

Bekerja sama dengan instansi lain paling sering dilakukan BPJS agar para anggota dari instansi tersebut memiliki JKN dan pembayarannya dapat dimonitor oleh instansinya. Jadi, hal ini dapat meminimalisir terjadinya penunggakan. Contohnya adalah kerja sama degan Kemenristekdikti belum lama ini. Selain itu, BPJS juga mulai memberlakukan penon-aktifan kepesertaan pasien yang tidak membayar.  Hal ini baru dilakukan karena mulai ada peserta yang jarang sekali membayar, tetapi membutuhkan dana untuk pengobatan penyakitnya. Namun, setelah sembuh, ia kembali tidak membayar lagi. Memang penon-aktifan ini bukanlah solusi yang paling baik, tetapi sebenarnya juga untuk mencegah peningkatan defisit ini lagi.

Poin-poin di atas mungkin terlihat sangat idealis bagi orang-orang, terutama karena pelayanan pasien JKN yang telah dicap kurang bagus. Saya secara pribadi penasaran dengan kenyataan aslinya di lapangan itu seperti apa. Dari rasa penasaran ini, saya mewawancarai salah satu pegawai BPJS dan peserta JKN-KIS secara nonformal.

Pegawai BPJS yang saya wawancarai pernah bekerja di bagian pelayanan di kantor cabang dan rumah sakit secara langsung. Hasil wawancara saya dengan beliau adalah ia berkata bahwa keluhan-keluhan seputar pelayanan di RS bagi para pengguna BPJS sudah jauh berkurang dibandingkan dahulu. Bilapun ada, keluhan itu akan langsung diproses dan dilihat darimana sumber keluhan itu. Bila sumbernya dari RS, maka akan didiskusikan dengan RS yang bersangkutan. Ia berkata, keluhan apapun, terutama diskriminasi, sebaiknya langsung diinformasikan ke kantor cabang terdekat atau ke pusat di nomor: 1500400.

Dari wawancara beberapa peserta JKN, saya mendapat jawaban yang beragam, namun sebagian besar merasa puas. Yang pertama, ia tidak sedang memakai JKN, namun saudaranya yang menderita penyakit pada ginjalnya hingga membutuhkan cuci darah rutin sangat puas dengan pelayanannya. Ia tidak dipungut biaya untuk cuci darahnya. Peserta berikutnya adalah peserta yang rutin memakai JKN, namun belum pernah dirawat inap di RS. Tetapi secara keseluruhan ia dan keluarganya merasa puas dan selalu memakai JKNnya untuk berobat. Berbeda dengan kedua peserta tersebut, peserta ketiga yang saya wawancarai pernah mengalami diskriminasi dalam proses rujukannya di salah satu RS. Namun saat itu ia tidak melapor karena ia hanya fokus agar diobati saja.

Dari pengamatan yang telah saya lakukan, menurut saya tidak salah juga bila BPJS dan pemerintah sedang berusaha memperbaiki sistem ini. Memang belum sepenuhnya baik, perhitungan dan pengawasannya masih perlu diperhatikan. Namun peningkatan pelayanan dan mutu kesehatan di Indonesia juga tidak bisa dicapai dengan cepat hanya dengan mengandalkan pemerintah dan BPJS saja. Kekurangan pasti masih ada, maka dari itu, kontribusi masyarakat pun harus diikutsertakan.

Karena mungkin topiknya sudah sedikit melenceng, saya ingin meluruskan kembali topiknya ke persoalan defisit BPJS. Masih seputar persoalan kontribusi masyarakat, sebenarnya pasti akan ada kontra.

Masyarakat itu sudah banyak yang tidak mampu, masa harus pusing lagi ikut mengatasi defisit BPJS?

Sebenarnya ada hal kecil yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Tidak sulit, yaitu hanya dengan membuka mata. Menjaga diri agar tidak langsung terhasut oleh perkataan-perkataan buruk juga salah satu cara kita untuk membuka mata. Pastikan terlebih dahulu. Bila melihat tindakan atau merasakan secara langsung perbuatan seperti diskriminasi oleh tenaga kesehatan, maka buka mata juga. Laporkan. Jangan menutup mata. Dengan melapor, anda telah membantu meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Sebenarnya hal yang paling diharapkan dari mengatasi defisit ini adalah dengan kontribusi seluruh lapisan masyarakat. Tujuan SJSN pada awalnya adalah menjamin kehidupan sosial yang layak bagi setiap orang. Tetapi, apakah bisa tujuan ini tercapai tanpa kontribusi dari golongan yang mampu? Hal inilah yang seringkali terlupakan karena BPJS yang dicap kurang bagus. Padahal bila kita membuka mata, masihkah hal itu berlaku?

Jadi, salah siapa?

Kembali pada kalimat yang kita ucapkan di awal tulisan ini. Mungkin saat bertanya seperti itu, tidak pernah terbesit bahwa diri kita merupakan salah satu orang yang “bersalah” dalam masalah ini. Kita cenderung melihat keluar, dan ke atas (pemerintah). Padahal, sebenarnya kita juga punya tanggung jawab akan hal itu.

Yang ingin saya tekankan di sini sebenarnya adalah bukan siapa yang salah, namun, sadarkah diri kita bahwa kita juga memiliki peran?

Referensi:

  1. UU No. 24 Tahun 2011
  2. Buku pegangan sosialisasi JKN
  3. http://www.bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/unduh/index/572
  4. http://www.bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/post/read/2015/336/Optimalisasikan-Promotif-Preventif-Oase-Kabinet-Kerja-Dorong-Masyarakat-Lakukan-Deteksi-Dini-Kanker-Serviks
  5. http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/post/read/2017/438/Kejar-Target-Cakupan-Semesta-BPJS-Kesehatan-Gandeng-Kemenristekdikti
  6. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/09/14/183513726/aturan.baru.bpjs.kesehatan.telat.bayar.iuran.sebulan.kepesertaan.langsung.non-aktif
  7. http://nasional.kompas.com/read/2016/10/05/19271241/defisit.anggaran.bpjs.kesehatan.diusulkan.dapat.suntikan.dana.pemda
  8. http://megapolitan.kompas.com/read/2017/02/06/09202641/pemprov.dki.anggarkan.rp.800.miliar.untuk.premi.bpjs.kesehatan

 

Saya akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari pembaca mengenai tulisan saya ini. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun