Sangat menarik mengamati penampakan foto di bawah ini. Sebagian orang barangkali menganggapnya masalah 'agama' (semacam praktik sesat sinkretisme yang 'haram' hukumnya), sebagian lagi menilainya biasa saja - sekedar teknik marketing (istilahnya adalah 'mubah'/hanya untuk menghibur pelanggan). Nah, haram atau mubah-nya perpaduan kerudung dan topi santa ini, tentunya tergantung kebijakan si pemilik toko. Pedagang yg karena suatu alasan menganggapnya haram, sudah pasti tidak memilihnya untuk memikat pengunjung. Sedangkan pedagang lain yang menganggapnya mubah, yah tentu sah-sah saja - wong itu tokonya sendiri.
Percampuran budaya atau percampuran agama?
Mahasiswa saya di kelas Sosiologi Agama, selalu belajar mengenai hadirnya fakta yang tidak bisa dihindari: yaitu adanya berbagai cara para pemeluk agama menafsirkan ajaran agama menurut keyakinan mereka masing-masing. Setiap saat, kita pasti bertemu dengan orang lain yang berbeda dengan kita, mungkin adatnya, selera kulinernya, hobinya, budayanya, atau agamanya. Orang yang berbeda itu mungkin tetangga, orang yg baru dikenal, bahkan anggota keluarga kita sendiri. Penampakannya juga kaya raya, seringkali ditemui adanya gejala 'percampuran budaya' (yang kadang-kadang terlihat seperti 'percampuran agama'). Setuju atau tidak, ya harus diterima - wong itulah kenyataan namanya. Masak orang yang hobinya jogging ngritik orang lain yang sukanya nggowes? Hidup yang aneka warna dan aneka rasa itu akan terus berjalan menurut takdirnya - dengan atau tanpa persetujuan kita.
Setuju atau tidak, jalannya hidup ini sudah disusun menurut skenarionya Tuhan, bukan maunya kita. Maka, hidup yang sehat adalah hidup yang realistis, yakni menyesuaikan diri dengan kenyataan apa adanya. Mengakui realitas (kenyataan) sebagaimana adanya itulah yang disebut sikap yang realistis (jadi tidak realistis namanya bila berhalusinasi seakan-akan Tuhan hanya menciptakan dirinya, bangsanya atau agamanya saja). Iya, maunya sih semua orang kalau bisa seagama atau sekeyakinan saja dengan kita. Kalau bisa semua orang di dunia ini Hindu semua, Muslim semua, Kristen semua, atau kalau bisa Sunni semua, Syiah semua. Kulit putih semua, Arab semua, Yahudi semua. Hehe, maunya sih.
Tapi, maunya Tuhan ternyata berbeda: Ia ciptakan banyak suku, banyak budaya, bahkan banyak agama. Biar mantap, dalilnya begini: "Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di mata Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Dia-lah yang Paling Mengetahui dan Paling Mengenal (QS. 49:13). Mohon dicamkan, sikap dasar untuk mengenal mereka yang berbeda sama sekali bukanlah ajarannya kaum 'liberal' - yg memang suka bikin onar itu, tapi memang benar-benar bersumber dari Kitab Suci. Jangan apa-apa yang bagus dibilang idenya orang liberal. Enak aja, mekar hidung mereka nanti!
Jadi, keragaman ekspresi budaya, agama, keyakinan dan segala macamnya itu adalah takdir Tuhan Yang Maha Kuasa. Bertengkar agama mana atau budaya siapa yang lebih unggul, siapa yang sah siapa yang bid'ah, adalah refleksi dari sikap tidak mau mengenal keberadaan orang lain. Hidup kok mau menang sendiri, mau benar sendiri? (hanya Tuhan Sang Pencipta Yang Maha Benar Sendiri). Lagi pula, pihak mana yang mau disesat-sesatkan? Mana ada yang mau mengalah? Siapa pulak yang sudi agama atau budayanya dianggap keliru dan salah?
Bertengkar siapa yang benar bukanlah cara yang benar untuk menunjukkan kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H