Mohon tunggu...
Icha Nors
Icha Nors Mohon Tunggu... Guru - ibu rumah tangga, pendidik

Berhenti melihat jam/waktu dan mulai melihat dengan mata\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sedapnya Dibully

30 Oktober 2014   06:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:12 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang kuceritakan ini sebuah kisah nyata yang semoga saja bisa mengakhiri kebiasaan buruk mengagungkan gelar akademik seseorang dan menafikan kemampuan kerja nyata dengan hasil yang gemilang.

Menengok latar belakang pengalaman maupun track record seseorang memang penting untuk jabatan yang diembannya, tapi tak kalah lebih penting lagi adalah kemauannya untuk menggerakkan hatinya mencintai dengan ikhlas dan bekerja lebih keras memperbaiki kesalahan. Secara otomatis para pekerja keras, pecinta kemajuan akan terus menyelaraskan diri dengan lingkungan barunya dan bekerja lebih keras mengejar ketertinggalannya. Berbagai jalan kebaikan akan ditempuhnya termasuk terus menggali potensi dirinya agar bermanfaat buat sesama.

Kenyataan di lapangan, gelar akademik yang tinggi bukan jaminan kualitas berpikir dan bekerjanya. Banyak sekali orang dengan gelar magister bahkan doctor yang disandangnya ternyata tidak lebih mumpuni dibanding dengan orang yang hanya bergelar sarjana atau tanpa gelar sekalipun.

Dibully Itu Berjuta Rasanya

Pertengahan Juli 2004 tanpa aku sangka-sangka datang sebuah surat panggilan sekaligus permintaan dari Yayasan memintaku agar aku bersedia menjadi penjaga gawang di salah satu unit lembaga pendidikan di Yayasan di mana aku bernaung selama ini. Jangan mengira aku begitu saja dengan suka cita menerima pinangan ini tanpa kemasygulan. Berhari-hari aku berpikir keras, meminta pendapat suami dan sanak saudara terutama ibunda mertua yang sangat aku hormati dan sayangi karena tinggal beliaulah satu-satunya orang tua yang aku miliki.

Masalahnya tidak sekedar mendapat tambahan tugas, tidak sekedar kepercayaan menduduki jabatan. Aku sendiri saat itu belum yakin apakah mampu mengerjakan tugas, mengemban amanah menduduki tampuk pimpinan sebuah lembaga pendidikan yang cukup punya nama besar sementara aku tak berbekal atau istilah sekarang tak berkompeten di bidang ini. Aku hanyalah seorang instruktur LPK modeste yang kurintis sendiri, guru Tata Busana di MA (setingkat SMA), guru TPQ dan guru ngaji anak-anak kampung pada malam harinya di sebuah surau peninggalan nenek moyangku secara turun-temurun. Sementara orang yang kugantikan sudah berpuluh-puluh tahun berkecimpung di dunia pendidikan prasekolah. Selain itu keterpautan usia kami juga sangat jauh, bak aku dan ibuku. Apalagi beliau masih sangat menginginkan jabatan itu. Beliau waktu itu sampai mengancam akan memejahijaukan karena pihak yayasan katanya bertindak semena-mena memberhentikan secara sepihak dan memfitnah dirinya. Hi…ngeri aku membayangkannya!

“Kalau bukan kau siapa lagi?” Begitu ngendikane ibunda mertua. “Bismillah saja, nduk….niatkan yang baik lillahi ta’ala bukan karena yang lain.” Pesan beliau wanti-wanti.

Aku mulai mempersiapkan diri menghadapi hal terburuk sekalipun. Aku harus siap dengan resiko dibenci oleh orang-orang yang tidak berpihak padaku. Aku harus siap mengikat nafsu amarahku kencang-kencang ketika ada orang mengatakan aku telah merampas kedudukan orang. Pendeknya, anjing menggonggong kafilah berlalu.

Tapi tahukah Anda bahwa baru berjalan beberapa langkah saja, kakiku sudah terasa ngilu sekali, telinga panas, mata setiap hari disuguhi wajah-wajah tak bersahabat, perlakuan tak mengenakkan dari anak buah yang seolah mereka adalah pemilik syah lembaga. Belum lagi cibir nyinyir meragukan kemampuan memimpinku. Aku seolah adalah makhluk tertolol yang salah kamar. Seolah-olah mereka ingin mengatakan bahwa di sini bukan tempatku. Untung saja aku berhasil menahan mulutku untuk mengatakan bahwa lembaga ini dulu berdiri karena buah pikiran almarhum ibu kandungku, ibukulah perintisnya sebagai pemimpin organisasi wanita sosial keagamaan saat itu. Semoga sampai kapanpun kalimat itu tidak pernah terucap. Kasihan ibu bila amal kebaikannya menjadi rsia-sia karena ulah anaknya yang terpojok.

Tidak sampai setahun aku secara meyakinkan berhasil melumpuhkan keraguan teman-teman dengan kerja kerasku merombak seluruh sistem dan program yang aku anggap usang dan menghambat laju perkembangan lembaga. Semula mereka keberatan dengan berbagai kebijakan yang kubuat, tapi itu tidak lama. Mereka kini bisa merasakan buah manis perubahan itu dan berbalik menunjukkan loyalitas dan dedikasinya pada lembaga dan kepemimpinannku.

Pernah suatu malam sehari setelah SK pengangkatanku keluar aku memberanikan diri menelepon orang yang kugantikan untuk meminta ijin bersilaturrahim ke rumahnya dan ngangsuh kawruh pada yang lebih sepuh. Aku dimaki-maki dengan kalimat-kalimat yang sangat tidak pantas diucapkan oleh tokoh pendidik. Aku dibilang berbahagia di atas penderitaannya. Beliau menutup pembicaaraan di telepon dengan kalimat yang sampai saat ini tidak bisa aku hapus dari ingatan :” Selamat berbangga dengan kedudukanmu sekarang, tukang jahit.” Astaghfirullahal adzim….

Tidak cukup itu saja, bully demi bully terus dilancarkan setiap kami bertemu dalam suatu forum (beliau pindah tugas di tempat yang masih satu wilayah/satu kelompok kerja) selama hampir sepuluh tahun dan Alhamdulillah akhirnya berhenti sekitar setahun ini beliau pensiun.

Bila ditanya demdamkah aku pada mereka yang telah membullyku? Aku jawab tidak. Bahkan tidak mengurangi rasa hormatku pada mereka. Dendam tidak memperbaiki keadaan. Aku hanya ingin bersungguh-sungguh mengemban amanah ini. Aku ingin keempat orang tuaku (kandung dan mertua) bisa tersenyum di alam sana. Aku ingin ketiga anakku tidak malu memiliki seorang ibu sepertiku. Aku tak akan lelah berburu ilmu mengejar ketertinggalanku, berguru pada siapa dan apapun demi kemajuan lembaga dan anak-anak didikku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun