[caption id="attachment_89287" align="alignright" width="224" caption="sumber foto google"][/caption]
Aliran kejawen sering kali muncul dalam pertentangan serius di ruang publik. Dan di masa rezim Orde Baru, faham ini dianggap sebagai penyokong utama kekuasaan yang menindas. Maka tak heran, perilaku korup yang menjadi jubah kepemimpinan Soeharto, tidak lepas dari polesan ramuan kejawen yang kental. Walhasil, selama 32 tahun, rakyat tersihir penampilan palsu sang diktator berdarah Solo itu.
Pemahaman Tuhan Yang Maha Esa, dalam perspektif “teologi kejawen”, condong memasuki ruang pemikiran yang abu-abu. Sehingga oleh Soeharto, konsep ini dimanfaatkan sebagai dogma untuk tujuan melanggengkan kekuasaannya. Atau singkatnya, ia berhasil menjadikan kejawen sebagai agama kekuasaan untuk penaklukan terhadap rakyat. Dengan tafsir: Tunduk pada penguasa, sama dengan patuh pada kehendak Tuhan.
Akibatnya, nilai-nilai ketuhanan dan perilaku Soeharto di dalam struktur kekuasaan negara, tampak kontras. Celakanya, ajaran Tuhan sering kali dihadirkan sebatas simbol-simbol untuk tujuan menghalalkan segala bentuk kejahatan bernegara. Dan ironinya, berbagai lembaga keagamaan disekitar kekuasaan negara, terlibat mengambil peran dalam meneguhkan praktek yang menyesatkan itu.
Sebutlah, NU yang merupakan bagian terpenting sebagai relasi Soeharto, memiliki peran besar mensenyawakan aliran kejawen dengan Islam berbasis tradisional. Kedua aliran ini saling melengkapi. Maka tak heran, para kyai di Pulau Jawa sering kali disindir dengan sebutan “Islam kejawen”. Sebuah julukan yang menjelaskan adanya pergeseran perilaku. Yakni, dari nilai-nilai Islam berbasis spirit Wali Songo menjadi Islam berhaluan kejawen yang taat dan manut pada penguasa.
Lantaran itu, peran NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia dan berakar di Pulau Jawa, telah menyumbang pada kejayaan rezim Orde Baru secara signifikan. Dan hasilnya, melahirkan kemiskinan akut dalam struktur sosial-ekonomi rakyat. Namun kenyataan yang paradoksial ini seolah menjadi kebanggaan. Dan diyakini sebagai sebuah bentuk takdir yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa.
Islam kejawen ala NU
Apa yang terjadi di masa Soeharto, kini seolah dihidupkan kembali oleh SBY. Di mana akhir-akhir ini hubungannya dengan unsur-unsur NU, secara perlahan namun pasti, mulai menemukan bentuk yang idealnya dengan apa yang pernah dipraktekkan oleh Soeharto.
Dan seiring dengan kian memanasnya kemarahan rakyat dalam menyikapi kasus Century, SBY pun tak tinggal diam. Melalui PKB dan berbagi jaringan NU di Jakarta dan sejumlah kota lainnya di pulau Jawa, terlihat hubungan itu makin mesra. Mulai dari menghadiri doa bersama dan kunjungan ke berbagai pesantren, menjadi “safari politik terselubung” SBY.
Gaya merangkul dan tebar pesona SBY di kalangan umat berbasis NU, menyimpan maksud dan tujuan yang jelas terbaca. Yakni, berusaha merangkul umat Islam dan mencoba memanfaatkan simbol-simbol agama untuk berlindung dibalik tekanan publik atas masalah Century.
Lebih menyedihkan, sebagian para tokoh NU terkesan hanyut dalam lakon kejawen SBY. Dengan alasan, SBY merupakan pemimpin umat Islam dan wajib ditaati. Kenyataan ini tentu membuat kita prihatin.
Semestinya, para kyai dan sekaligus politisi PKB itu lebih tepat bersikap kritis dan mandiri untuk memperjuangkan aspirasi umatnya. Bukan sibuk meneguhkan atau melindungi penguasa dari sorotan publik seputar masalah Century.
Akhirul kalam, mencermati perilaku SBY, para tokoh NU dan politisi PKB, jelas menimbulkan kesan, bahwa watak mendustai Tuhan ala Soeharto mulai dihidupkan kembali. Entah pemahaman Tuhan menurut aliran kejawen atau “Islam kejawen” ala NU, sama saja!
Jika praktek politik ini dibiarkan terus terjadi, maka jangan heran kalau ada anggapan yang berkembang di masyarakat, bahwa: Elit penguasa Jawa suka mendustai Tuhan, dan tokoh kyai NU cenderung terjebak berkhianat kepada umatnya. Walapun sejujurnya, tidak semua elit Jawa dan para kyai NU bersikap demikian, semoga…!
Salam, Faizal Assegaf Jkt, 9 Maret 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H