Mohon tunggu...
faizal assegaf
faizal assegaf Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Panggil saja ical—Lahir di Geser Island, besar di Pulau Buru—sejak awal Februari 1990 hingga kini menetap di Jakarta—visi dan sikap politik: “perlunya pendekatan revolusioner untuk membangun Indonesia yang orisinil dan beradab..."__lebih memilih jadi kritikus dari pada bergabung dengan rezim korup__ mampir ya diblog pribadi saya: visibaru.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menanti Ulama Revolusioner

17 Maret 2010   07:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:22 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Ayatullah Ruhollah Khomeini atau lebih dikenal dengan julukan Imam Khomeini. Seorang ulama besar yang berjiwa revolusioner dan merakyat. Gagasan-gasannya merambah dunia. Dan membangkitkan kesadaran kita untuk kembali kepada ajaran Islam yang orisinil, cinta kasih dan bermartabat. Selama 60 tahun ia mengabdikan diri berjuang membebaskan Iran dari cengkraman imprialisme asing. Ia bukan hanya pandai dalam gerakan politik, namun juga pribadi yang penyayang dan takwa. Seruan-seruannya menjadi motivasi dan pencerahan. Khomeini dengan lantang menyerukan perlawan kepada rezim diktator dan korup: "Wahai orang-orang tertindas, bangkitlah melawan para penindas, dan rampaslah hak-hak kalian dari mereka..." Pesan itu menusuk jantung kesadaran rakyat dan membangkitkan gejolak revolusi. Hasilnya, Iran lahir sebagai bangsa mandiri dan menjadi tangguh di pentas dunia saat ini. Berbeda dengan bangsa-bangsa yang manut dan pasrah pada perubahan zaman. Sebutlah, Indonesia...! Perjumpaan saya dengan kepribadian dan pemikiran Khomeini  berawal di tahun 1984. Waktu itu ibu saya pulang dari Jakarta dengan membawa sejumlah foto dan beberapa buku tentang perjuangan Khomeini. Fotonya dipajang di ruang makan, saya suka manatapnya. Sorotan matanya tajam dan menggetarkan jiwa. Di bagian bawah gambarnya, tertulis: "La syarqiyah wala gharbiyah illa islamiyah...", tidak Sunni maupun Syi'ah kecuali Islam, tidak Timur dan tidak Barat. Pesan pendek itu merubah selera saya untuk membaca buku-buku yang mempertengkarkan perbedaan mazhab dan agama. Semakin jauh menyelami kehidupan Khomeini, membuka kesadaran saya atas realitas sosial-keagamaan di negeri ini. Saya mengamati begitu banyak tokoh-tokoh agama kita terjebak dalam perlombaan berorganisasi, yang ujungnya menghamba kepada penguasa. Menjadi alat kepentingan politik, terjebak dalam pertentangan antar agama, serta mengurusi hal ihwal yang tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan dan keadilan rakyat. Fokus perhatian saya sering kali tertuju kepada Muhammadiyah, NU, MUI dan beberapa organisasi Islam lainnya. Organisasi-organiasai ini lebih banyak hanyut dalam simbol-simbol agama. Menghabiskan dana miliaran rupiah hanya untuk sekedar muktamar, Istiqosah, seminar dan kegiatan-kegiatan yang sebatas formalistik dan terkesan euforia. Anehnya, pemerintah dibuat sibuk menyiapkan sebuah Departemen khusus (Depag) sebagai pusat rekrutmen tokoh-tokah agama dan sarana penyaluran bantuan kepada organisasi-organisasi tersebut. Hasilnya, bermunculan berbagi proposal permohonan bantuan, rebutan proyek haji/umrah dan kasak-kusuk dalam percaloan jabatan di struktur kekuasaan. Perilaku dan mentalitas inilah yang menyebabkan tokoh-tokoh agama kehilangan kecerdasan, kemandirian, jauh dari rakyat dan hanya sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Lebih menyedihkan, NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar di negeri ini, dalam kurun waktu puluhan tahun terjebak dalam pertentangan yang membingungkan ummat. Mulai dari soal rukyah-hilal, wudhu, qunut dan masalah-masalah fiqih yang tak berkesudahan. Di tengah-tengah kesemrawutan kedua organisasi itu, muncul kelompok-kelompok radikal yang mencoreng citra Islam. Fenomena ini tidak lepas dari akibat bobroknya perilaku NU dan Muhammadiyah itu sendiri. Tepatnya, gagal mendorong perbaikan sistem negara dan tata nilai dalam kehidupan bangsa ke arah yang lebih adil dan bermartabat. Berbeda dengan Khomeini yang berhasil melahirkan perubahan dan menempatkan posisi ulama sebagai bagian dari tanggungjawab untuk mengayomi dan mencerdaskan ummat. Salut...!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun