NU sebaiknya dibubarkan! Ganti namanya dengan NKP (Nahdatul Kyai dan Politisi). Sebagai pribadi yang besar dalam keluarga NU, saya melihat dengan jelas, organisasi ini sangat manut kepada penguasa. Ini sudah watak bawaannya.
Di penghujung Mei 1997, saya diciduk dan diintrogasi di Polres Jakarta Timur. Kasus ini terkait dengan keterlibatan saya dan teman-teman dalam pengerahan masa di sepanjang Jalan Dewi Sartika hingga Kampung Melayu, Jakarta Timur. Kejadian ini bertepatan dengan kampanye PPP.
Kami membagikan selebaran yang isinya: “Ayo, rakyat bersatu bangkit melawan rezim korup…”. Sutiyoso yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Jaya, datang dengan heli dan mendarat di atas jembatan Cawang.
Menjelang jam dua siang, suasana makin memanas. Hujan batu dan tembakan aparat keamanan tak terhindarkan. Untung saja tidak ada korban jiwa. Namun, kejadian ini berujung pada penculikan Dedi Hamdun dan beberapa aktivis lainnya. Mereka diisukan terlibat dalam berbagai kekacauan kampanye PPP di Jakarta.
Kampanye massa PPP di sejumlah kota lainnya pun bergejolak. Mucul aksi kemarahan massa secara sporadis. Pemicunya adalah isu gerakan pro “Mega-Bintang”. Sebuah jargon yang mendadak muncul mempertemukan kaum muslim dan berbagai elemen sosialis. Yang kemudian pada pemilu 1999, melahirkan gerakan wong cilik yang dipelopori oleh PDIP.
Beberapa bulan sejak peristiwa penangkapan, saya bertemu dengan Gus Dur, Jalaludin Rahmat dan istri Sri Bintang Pamungkas dalam sebuah pertemuan terbats di Jl. Otista. Hadir juga beberapa aktivis HMI MPO dan Muhaimin Iskandar, yang waktu itu menjabat Ketua Umum PB PMII.
Dalam pertemuan itu, Gus Dur menceritakan keinginannya untuk mendorong kaum NU turun ke jalan melawan Soeharto. “Kalau kita berhasil menyakinkan kiyai-kyai dan santri di Pulau Jawa untuk bergerak, maka akan terjadi revolusi…”
Namun, keinginan Gus Dur tidak tersampaikan. Maklum, Soeharto melalui ABRI (TNI), jauh hari telah memupuk hubungan yang kuat dan berakar dengan para kyai NU di seluruh Indonesia. Kecuali kaum muda NU yang tergabung di PMII. Kelompok ini merupkan salah satu elemen kritis yang ikut dalam berbagai aksi mahasiswa untuk menggulingkan rezim Soeharto.
Rangkain peristiwa politik yang terjadi sepanjang tahun 1990-an, mengingatkan saya tentang situasi saat ini. Ada benang merah yang terhubung dengan peristiwa lalu. Sebagai misal, mayoritas Kyia NU mulai membina kemesraan dengan rezim SBY.
Ironinya, kedekatan sejumlah tokoh NU dengan SBY diprakarsai oleh Muhaimin Iskandar dan kroni-kroninya. Watak menghamba dan manut kepada kekuasaan justru lahir dari lingkaran keluarga Gus Dur sendiri. Sebuah gambaran bahwa posisi dan tarik-menarik NU secara politis tidak lepas dari pengaruh dan campur tangan kelompok “bani Wahid”.
Artinya, NU itu sebuah organisasi yang berbasis keluarga dan bersifat lokal, terpusat di Jawa Timur. Namun kiprahnya dikesankan bersifat nasional. Dan lebih menyedihkan, penggunaan stempel dan stigma “Ulama” sering kali mengaburkan pandangan umat Islam di negeri ini.
Kalau pada masa terbentuknya NU, jelas adalah kumpulan Ulama yang teruji dan memenuhi syarat dalam organisasi tersebut. Tapi sekarang? Maaf, lebih pada kumpulan para politisi dan Kyai (guru ngaji) yang tidak memenuhi syarat untuk disebut Ulama.
Kalau demikian, sekali lagi, sebaiknya NU berganti nama menjadi NKP (Nahdatul Kyai dan Politisi). Perubahan nama ini sudah waktunya dilakukan. Agar ummat Islam tidak terjebak dalam perilaku kemunafikan NU yang makin menyesatkan…! (bersambung...)
Salam, Faizal Assegaf Jkt, 17 Maret 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H