Hari Buruh yang diperingati setiap 1 Mei seolah menjadi ritual tahunan untuk menyuarakan kesejahteraan dan tuntutan atas pemenuhan hak buruh yang lainnya. Kondisi buruh di Indonesia memang tak pernah lepas dari kondisi makro ekonomi dan kondisi global.
Keadaan semakin kontras tatkala para buruh yang harus berjibaku dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari pada satu sisi, para oknum pejabat yang tunjangan serta gajinya berasal dari uang rakyat menampilkan gaya hidup hedon melalui flexing di sosial media. Tentu hal ini memicu "dendam" konflik berkepanjangan yang seolah tak pernah selesai
Pada setiap peringatan hari buruh, jarang kita jumpai elemen yang mewakili tukang sampah. Dominasi buruh yang turun ke jalan kebanyakan dari sektor industri. Pertanyaannya adalah; siapa sebenarnya yang berkewajiban untuk mewakili aspirasi para tukang sampah di Indonesia
Mendengar profesi tukang sampah, maka banyangan kita akan tertuju pada hal-hal yang sifatnya kotor, aroma busuk sampah dan segala hal "menjijikkan" lainnya. Siapa yang mau menjadi tukang sampah, kecuali mereka yang memang benar-benar dalam kondisi terjepit dengan kebutuhan ekonomi
Karir tukang sampah seolah sama gelapnya dengan orientasi kita terhadap profesi ini. Tukang sampah takkan pernah pernah menapaki jenjang karir cemerlang dalam melakoni profesinya. Jangan tanya bagaimana mereka harus memenuhi kebutuhan akan Pendidikan anaknya, tempat tinggal layak atau makanan bergizi sebagai prasyarat utama dalam menjalankan pekerjaan.
Bulan Maret 2023, demo besar terjadi di Paris disebabkan adanya perubahan terhadap undang-udang batas pensiun. Kota gemerlap dan glamour itu harus merasakan busuknya aroma sampah yang tersebar sebanyak ribuan ton kurang lebih selama 2 minggu.
Demo "sampah" juga terjadi di Kabupaten Sidoarjo pada Desember tahun lalu, akibat dari keputusan Bupati saat itu yang menaikkan biaya angkut sampah yang semula Rp 1 Juta menjadi Rp 4 Juta namun tidak diiringi dengan kenaikan gaji petugas pengangkut sampah
Bagaimana dengan kita? Menilik secara jujur, kitalah pelaku utama dari diskriminasi ini. Pada dasarnya kita tak pernah menempatkan petugas kebersihan secara manusiawi. Tengok saja para tukang sampah di lingkungan kita. Sudah cukup layakkah gaji yang telah kita berikan pada mereka apabila disandingkan dengan ketetapan pemerintah (UMR), ditengah tuntutan lingkungan kita yang harus bersih, rapi dan asri. Atau memang harus seperti itukah takdir profesi tukang sampah dalam menjalani kehidupannya. Lebih baik diam atas perlakuan kejam kita daripada tidak bekerja, itulah yang ada dalam benak mereka para tukang sampah.
Lalu Kota tempat tinggal kita mendapatkan gelar sebagai Kota terbersih tingkat nasional. Kepala daerah bangga. Para pejabat Dinas Kebersihan sumringah bukan kepalang. Petugas kebersihan diajak seremonial makan-makan dan menerima undangan di balai kota di hari itu. Tentu mereka senang dan bangga, tapi esoknya dan setiap hari mereka kembali berkecamuk dengan nasib keluarga.