Mohon tunggu...
Hafidzah Aliyah
Hafidzah Aliyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Psikologi Universitas Negeri Gorontalo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menilik Peran Perbedaan Budaya dalam Menciptakan Dinamika Perilaku di Bidang Organisasi dan Industri

17 Desember 2024   10:16 Diperbarui: 17 Desember 2024   10:55 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang bekerja dalam kelompok besar, motivasi dan produktivitasnya sering kali menurun. Fenomena ini disebut dengan social loafing atau kemalasan sosial, yang biasanya terjadi karena kurangnya koordinasi antara anggota tim atau kurangnya usaha individu ketika bekerja dalam kelompok. Akan tetapi, fenomena ini tidak terjadi di semua budaya. Di budaya kolektivisme seperti di Gorontalo, kerja kelompok justru dapat meningkatkan kinerja individu, di mana hal ini dapat terlihat dari adanya budaya huyula atau gotong royong yang menekankan pentingnya kebersamaan dan tanggung jawab kolektif dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Sedangkan, di budaya individualisme, seperti di Amerika, fenomena ini cenderung berkurang hanya ketika tugas dianggap penting atau kinerjanya diawasi saja.

Perbedaan budaya ini juga tercermin dalam konsep kepemimpinan. Pemimpin diartikan individu dengan kemampuan mempengaruhi bawahan untuk berpikir dan bertindak guna mencapai tujuan organisasi (Siagian, 2002). Dalam budaya kolektivisme, yang menekankan harmoni dan kerja sama, seperti di Indonesia, para pemimpin cenderung menggunakan pendekatan musyawarah untuk mufakat dan menjaga hubungan hierarkis yang harmonis. Sebaliknya, dalam budaya individualisme, seperti di negara-negara Barat, suatu kelompok cenderung mengatur dirinya sendiri dan tidak menuntut masukan dari pemimpin yang telah dipilih.

Pemahaman terhadap budaya juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan negosiasi bisnis. Dalam negosiasi internasional, para negosiator tidak hanya mewakili perusahaan tempat mereka bekerja, tetapi juga membawa unsur-unsur budaya mereka, seperti kebiasaan, kultur, bahasa, atau norma-norma tertentu. Sama halnya dengan produktivitas dan gaya kepemimpinan, proses negosiasi lintas budaya juga sering kali dipengaruhi oleh nilai-nilai individualisme dan kolektivisme. Misalnya, dalam proses negosiasi, orang Amerika dengan budaya individualisme cenderung fokus pada hasil negosiasi tanpa terlalu menekankan hubungan pribadi. Mereka biasanya sudah memiliki persiapan untuk bertukar informasi, kemudian langsung menanyakan apa yang dibutuhkan demi mencapai kesepakatan dengan cepat. Sebaliknya, orang Jepang dengan budaya kolektivisme cenderung mengutamakan hubungan jangka panjang sebelum mencapai kesepakatan bisnis demi menyesuaikan kebutuhan dan menghindari risiko atau kesalahan. Mereka juga menggunakan persuasi untuk mencapai kompromi, sehingga tiap pihak dapat menyelesaikan negosiasi dengan baik.

Perbedaan Budaya dalam Nilai Kerja

Perbedaan budaya juga tentunya dapat mempengaruhi nilai kinerja dalam suatu organisasi, seperti pendekatan terhadap pekerjaan, norma kerja dan harapan, sikap terhadap risiko, struktur hierarki, dan lain sebagainya. Hofsetede, dkk (2010) dalam bukunya "Cultures and Organization: Software of the Mind (3rd ed.)" mengemukakan enam dimensi budaya mengenai nilai kerja, yakni antara lain:

  • Power Distance (Jarak Kekuasaan): Mengukur sejauh mana masyarakat menerima distribusi kekuasaan yang tidak merata. Budaya dengan jarak kekuasaan tinggi menerima dan menganggap normal hierarki, sedangkan budaya dengan jarak kekuasaan rendah hubungannya lebih egaliter.
  • Uncertainty Avoidance (Penghindaran Ketidakpastian): Mengukur toleransi masyarakat terhadap ketidakpastian. Budaya dengan penghindaran ketidakpastian tinggi mengandalkan aturan dan regulasi yang ketat, sedangkan budaya dengan penghindaran ketidakpastian rendah lebih terbuka terhadap risiko dan perubahan.
  • Individualism versus Collectivism: Dimensi ini mengukur sejauh mana orang dalam suatu budaya cenderung melihat diri mereka sebagai individu yang independen (individualisme) atau sebagai bagian dari kelompok (kolektivisme).
  • Masculinity versus Feminity: Budaya dengan dimensi maskulin lebih menekankan prestasi dan kompetisi, sementara budaya dengan dimensi feminin lebih mengutamakan hubungan interpersonal dan keharmonisan.
  • Long Term versus Short Term Orientation: Masyarakat dengan orientasi jangka panjang cenderung berpikir dan bertindak untuk mencapai tujuan yang memberi manfaat di masa depan. Sedangkan, masyarakat dengan orientasi jangka pendek cenderung berfokus pada kebutuhan masa kini dan mempertahankan nilai-nilai tradisional.
  • Indulgence versus Restraint: Budaya indulgence cenderung menerapkan kebebasan dan lebih menikmati hidup serta bersenang-senang. Sedangkan, budaya restraint mencerminkan keyakinan bahwa kepuasan yang ada pada budaya indulgence perlu dibatasi dan diatur oleh norma sosial yang ketat.

Referensi

Hofstede, G., Hofstede, G. J., & Minkov, M. (2010). Cultures and Organizations: Software of the Mind (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Siagian, S. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Yuniardi, S. (2017). Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun