Mohon tunggu...
Ica Alifah
Ica Alifah Mohon Tunggu... -

Sosok yang sederhana... begitu kebanyakan orang menilaiku :)penuh misteri, unik atau aneh... entahlah. Aku suka membuat orang lain tertawa, mereka bilang mungkin calon sumiku akan lucu sepertiku... Hahaha *ngawur. Anak ke-2 dari 6 bersaudara. Sosok ini sedang menyelesaikan program S2-nya di IPB. Mohon do'anya ya ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kak Yaz

22 Agustus 2012   23:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:26 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Setiap kejadian pasti ada hikmahnya kak Yaz.” Ujarku menenangkannya.


Ia duduk termenung tepat di depanku. Tangannya dilipatnya di atas meja dan dagunya ia sandarkan di atas tangannya itu. Kulihat ada butiran-butiran bening yang tertahan di sudut matanya. Tapi bagaimana aku harus menghiburnya. Aku bingung. Andai saja ia kakak kandungku pasti kupinjamkan bahuku agar ia bersandar sambil menangis. Tak apa-apa. Laki-laki boleh menangis, untuk apa ditahan aku membatin. Tapi apalah daya, walaupun kami dibesarkan bersama dari kecil tetap saja dia bukan kakakku. Ada hijab di antara kami.
“Lantas apa hikmahnya Aisy?” Tiba-tiba suara lirihnya memecah sunyi.


Aku terkejut, sontak tak bisa memikirkan apa-apa. “Pokoknya pasti ada hikmahnya kak. Aisy belum tau. Tapi Aisy do’akan semoga Allah menunjukkan pada kakak apa sebenarnya hikmah di balik musibah ini nanti.” Jawabku gugup. Aku tak ingin salah bicara disaat-saat seperti ini. Kupilih jawaban aman saja, takut ia bertambah sedih.


“Aisy tau… kakak sebatangkara sekarang, jika mengingat mereka dada serasa sesak.”


Kulihat matanya makin memerah, banyak air mata yang tertahan di sana. “Kak… jika ingin menangis, menangis saja. Tak apa-apa. Anggap aja Aisy nggak ada, atau kalau kakak malu, Aisy tinggal aja ya?” Aku berdiri dari ayunan tempatku duduk sedari tadi, siap-siap melangkah meninggalkannya sendiri.


“Aisy… jangan pergi, di sini saja, temani kakak….” Pintanya sambil menoleh ke arahku.


Aku melirik jam tanganku, waktu menunjukkan jam 09:00 malam sekarang, papa dan mama yang duduk di teras samping rumah kami kulihat masih berbincang-bincang tak jauh dari aku dan kak Yaz.


Aku kembali duduk, ayunan itu bergoyang-goyang. Kulihat dia termenung lagi, aku tak bisa menebak apa yang sedang ia fikirkan, walau hampir setiap hari aku bertemu dengannya tetap saja banyak yang tak aku mengerti tentang dirinya, karena dia begitu tertutup. Ayah dan bunda, begitu aku menyebut ayah dan ibu kak Yaz adalah teman baik papa dan mamaku. Sebelumnya mereka tinggal di luar negeri, mereka hanya pulang menjenguk kak Yaz beberapa kali dalam setahun selama kak Yaz dititipkan bersama kami, dia mendampingiku dari kecil, bahkan sejak aku lahir, jarak umurku dan kak Yaz 5 tahun. Kami sama-sama anak semata wayang, sehingga dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri.


Langit begitu gelap, mungkin turut bersedih atas musibah yang menimpa kak Yaz. Bintang-gemintang hanya mengintip di balik kabut hitam, meredup-redup cahayanya. Kulihat papa dan mama sudah memberikan isyarat untuk segera masuk. Aku dan keluargaku tinggal di rumah utama, sedangkan kak Yaz dipindah ke kamar tamu. Letaknya terpisah dari rumah utama. Pintu kamarnya berhadapan dengan taman tengah rumah kami. Jika berjalan terus lurus akan sampai di pintu samping rumah dan akan masuk ke ruang makan. Pintu keluar tetap dari pintu rumah utama. Ini sengaja dilakukan karena kami telah sama-sama remaja sekarang.


“Kak, sudah disuruh masuk tuh.” Ujarku sambil melihat ke arah papa dan mama.


Ia pun menoleh, “ Ya pa, ma… Yazid masuk duluan ya, Assalamu’alaikum….”


“Wa’alaikum salam….” Papa dan mama menjawab salam kak Yaz serentak.


“Kalau begitu kakak masuk dulu ya Aisyah.”


“Kakak udah nggak apa-apa kan? Besok pagi kita bicara lagi, kakak yang sabar ya.” Aku menasehatinya.


“Baiklah, terimakasih sudah menemani kakak, kamu memang adik kakak yang paling baik.” Dia tersenyum tipis, tampak sekali senyumnya masih dipaksakan. Dia berbalik, aku masih melihat punggungnya berangsur-angsur menghilang di balik bunga-bunga taman. Ia masuk ke kamarnya dan lampu kamarnya dimatikan. Kurasa ia akan susah tidur, aku pun akan begitu.


***
Sudah beberapa hari aku tak melihat kak Yaz. Entah apa yang sedang dilakukannya sekarang. Aku khawatir apakah dia baik-baik saja. Aku duduk di ayunan, kuhentakkan kakiku pelan, ayunan itu bergoyang ke depan dan ke belakang. Kulihat pintu kamar kak Yaz tertutup rapat, ini hari ke-3 dia tak masuk sekolah.


Setelah melaksanakan ibadah haji, orangtua kak Yaz mengisi waktu mereka sebelum pulang ke Tanah Air dengan melaksanakan umrah sunah, saat itulah keduanya meninggal dunia. Tidak ada tanda-tanda sakit sebelumnya, namun keduanya diketemukan telah meninggal saat shalat di Masjid al Nabawi, Madinah.


Sebenarnya yang membuat kak Yaz sangat bersedih karena dia tidak bisa melihat ayah dan bunda untuk terakhir kalinya, karena kedua orangtuanya harus dimakamkan di sana. Siapa pun akan bersedih jika mengalami hal yang serupa dengannya, tapi aku tak menyangka ia sampai mengurung diri seperti ini.


Sejam sudah aku di taman, ingin mengetuk pintu kamarnya, tapi papa membuat peraturan khusus di rumah kami. Aku tak boleh ke kamar kak Yaz. “Kalian bukan muhrim,” nasehat papa padaku dan kak Yaz saat aku berumur 11 tahun, setahun yang lalu.


Angin sepoi-sepoi membuat jilbab hijau mudaku berkibar-kibar. Tak ada tanda-tanda kak Yaz akan keluar. Aku menurunkan kakiku, ayunan perlahan terhenti dan aku berdiri berbalik meninggalkan taman, selangkah… dua langkah… pelan-pelan.


“Aisy… Aisy….” Suara kak Yaz memanggil-mangil.
Aku menoleh ke belakang, tampak kak Yaz berlari ke arahku. Ada apa gerangan, aku bergumam dalam hati.


“Aisyah… lihat tulisan ini.” Dia menyodorkan majalah yang tadi pagi diletakkan papa di meja teras kamarnya.


“ Tulisan apa kak?” Aku bertanya penasaran.


“Coba kamu baca.” Ujarnya.


“Baiklah….” Lalu aku mulai membaca satu paragraf dari tulisan itu yang telah ditandainya. Di situ tertulis Rasulullah SAW bersabda: ”Barangsiapa yang bisa meninggal di Madinah adalah lebih baik karena saya akan menjadi saksinya.” (HR. Ibnu Majah). Bahkan, Sayyidina Umar bin al Khaththab berdoa: ”Ya Allah, berikankah kami rezeki mati syahid dan meninggal di negeri Rasul-Mu.” (HR. Bukhari).


“Inikah hikmah seperti yang kamu katakan Aisy, benarkah? Ya Allah terimalah amal ibadah ayah dan bundaku selama mereka hidup dan tempatkanlah mereka di tempat yang mulia di sisi Mu….Amin.”


Aku melihat ia tersenyum lebar. Kulihat butiran-butiran bening di sudut matanya jatuh satu-persatu. Dia menangis, kali ini tangis bahagia.***
_____________________________
21/4/2011>> Kamar Inspirasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun