Prihatin tetapi tidak kaget mendengar berita siswa SD masuk RS Jiwa karena stres kebanyakan les (pelajaran). Kasus yang terjadi di Jakarta itu, mungkin semacam demografi gunung es. Satu kasus mencerminkan kasus 10 siswa atau 100 siswa bahkan 1000 kasus sejenis yang sudah ada tetapi tidak terangkat ke permukaan.
Rasa penasaran mengapa hal sejenis masih terjadi,  karena kasus serupa juga terjadi, tetapi berhasil diredam dan tidak terekspose ke sosmed. Mengapa? Setelah browsing sana sini, saya setuju dengan artikel headline di Kompasiana http://www.kompasiana.com/empuratu/anak-masuk-rs-jiwa-karena-kebanyakan-les_54f3b2f9745513902b6c7ccb tulisan Muthia Alhasany.
Saya kutip tulisan mbak Muthia, mengapa sampai anak sekolah di Indonesia sampai "dikorbankan"
Keberhasilan anak hanya diukur sebatas nilai akademik, tetapi mengabaikan pendidikan mental. Anak-anak tak ubahnya seperti robot-robot yang diciptakan untuk mengikuti perintah, bukan sebagai individu-individu merdeka yang bebas berkreasi dan berinovasi. Angka-angka di raport menjadi acuan sehingga orang tua memaksa anak untuk mencapai nilai tertinggi agar dibilang anaknya pintar.
Menyamaratakan Kemampuan Anak
Sistem sekolah yang konvensional menyamaratakan kemampuan anak dan menyimpulkan dalam nilai standar rata-rata kelas. Jika si anak melebihi nilai standar kelas, apalagi anak kita bisa yang tertinggi nilainya, berarti anak kita pintar. Sedangkan mereka yang hanya mampu mencapai sekadar nilai standar, Â apalagi siswa yang rangking 1 atau dua dari belakang alias hanya mampu meraih di bawah standar rata-rata kelas, itu jelas anak bermasalah, atau (maaf) biasa diberi predikat sebagai anak yang lemah atau bodoh.Â
Buat orangtua yang perduli, anak bodoh harus dibantu semaksimal mungkin. Cara yang paling lazim adalah memberi les tambahan pelajaran, atau tepatnya mengulang pelajaran yang nilainya tidak memuaskan di sekolah.
Namun yang sering terjadi, orangtua yang ambisius tetap memberikan anaknya les, sekalipun nilai anaknya sudah setara rata-rata kelas atau malah paling pintar di kelas. Mungkin agar anaknya selalu jadi yang terbaik.
Dari sudut pandang guru, di masa sulit ini, adalah kesempatan untuk mendapat tambahan uang dari  les para murid. Siapa saja yang butuh les dipersilakan, sepanjang mampu membayar.
Sementara puluhan tahun lalu, guru SD saya menolak menerima siswa yang ingin tambahan les, kecuali siswa itu memang nilainya rendah banget dan orangtuanya tidak sanggup mengajarinya.
Persaingan AntarsekolahÂ