Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Racikan SMA (Formal) Tidak Bikin Anak Mandiri

6 Februari 2016   15:22 Diperbarui: 6 Februari 2016   15:28 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ekonom dan Pengamat Bisnis Reinald Khasali menceritakan pertemuannya dengan satu online bisnis yang digawangi anak-anak muda Indonesia. Satu situs belanja online yang sedang digemari konsumen muda. Dengan belanja online, selain mendapat barang-barang baru, anak-anak muda bisa mendapat harga yang lebih murah.

Saat ini sudah ada puluhan bahkan ratusan online shopping dan berbagai online bisnis yang tidak tanggung-tanggung omzetnya. Hal itu berbading terbalik dengan data penjualan ritel Indonesia yang dilaporkan turun besar-besaran. Jadi bukan konsumsi rakyat Indonesia yang berkurang, bukan krisis ekonomi dan langsung menyalahkan karena Pemerintah mismanajemen, tetapi pola hidup sudah berubah, bergeser secara pasti dari offline ke online.

Saat industri ritel konvensional melaporkan penurunan 3-4 persen, online shopping justru mengatakan omzet mereka naik 240 persen. Dalam dunia online, kalau tumbuhnya di bawah 100 persen itu sama dengan kegagalan. Artinya memang diakui atau tidak, disadari atau tidak, sekarang ini, detik ini, sudah jaman teknologi. Dan jelas bagi ratusan online shopping atau dikenal dengan e-commerce. Dan siapakah dibalik bisnis e-commerce dan bisnis teknologi itu? Yap di balik bisnis masa kini dan masa depan adalah para penggiat teknologi. **Di Indonesia sendiri, setiap hari sudah dibutuhkan ratusan bahkan ribuan programming komputer untuk membuat desain, context, content dan data analysis yang bisa diakses para pengguna internet. **

Gelar dan Ilmu (racikan) sekolah (formal) dan Kampus Indonesia Sudah Basi?

Kualitas pendidikan sekolah formal SD SMP SMA sudah bertahun tahun dikritisi, dan kalau kita berani jujur, banyak konten pelajaran Indonesia sudah basi, dan outputnyat tidak bikin Anak Mandiri.

Bahkan gelar akademis pun kini mulai ditinggalkan para kaum terpelajar dunia. Para pemberi kerja mulai melirik yang tak bergelar. Dari “siapa kamu” ( atau “apa gelar akademismu”), dunia manajemen mulai beralih pada apa yang bisa kamu lakukan. Lihatlah di perusahaan- perusahaan besar, di kartu-kartu nama para pimpinan dan stafnya. Tak banyak lagi yang mencantumkan gelar akademisnya. Gerakan masif ini membuat kaum muda beralih dari membeli degree (formal)kepada** membeli keahlian dan paket paket kursus**, yang mereka ramu sendiri racikannya.

Bukan lagi racikan akademik yang dibuat pemerintah karena mereka ingin membangun keahlian yang unik, yang tidak massal dan siap pakai. Dan pasar tenaga kerja global pun mengakomodir mereka. Apa yang bisa mereka berikan di dunia kerja bukan lagi rangkaian matakuliah racikan kampus. **Jadi mengapa mesti tunggu kuliah dengan gelar dulu? Padahal sekarang Coding Smart School juga membuat terobosan bagi lulusan SMP untuk bisa segera menguasai teknologi. Dan jika tetap ingin melanjutkan ke universitas, lulusan Coding Smart School sudah jauh lebih unggul dibanding lulusan SMA yang tidak punya keahlian spesifik. **

Gojek, Uber, Seven Eleven, dan lain lain.

Kalau kita belum puas dengan contoh contoh di atas, maka pelajarilah segala fenomena di dunia transportasi, retail, telekomunikasi, trading, financing, dan sebagainya. Kita pasti akan menyaksikan gejala ini. Konsumen perbankan pun mulai meninggalkan kunjungan ke loket-loket bank. Mereka beralih ke mobile banking. Pemakaian voice dalam berkomunikasi beralih ke cara-cara baru: data. Dari voice ke BBM, lalu pindah lagi ke Whatsapp dan social media. Sama halnya pertarungan sengit yang tengah dihadapi tukang-tukang ojek pangkalan vs Gojek _dan _Grab-Bike, atau taksi biasa versus Uber. Itulah pergerakan dunia nyata, dari bisnis offline ke online.

Jadi, jangan melulu menyalahkan krisis ekonomi dunia. Karena krisis berdampak pada semua usaha dan kali ini terjadi luas di seluruh dunia. Yang jauh lebih penting bukan krisis itu sendiri. Bukan dollar AS, tetapi apa respons kita terhadap usaha yang kita jalani. Dan apa respons kita untuk mempersiapkan masa depan anak-anak kita dalam dunia yang benar-benar baru ini. Kalau Anda diamkan, bukan krisis yang menghantam, tetapi persaingan baru melalui business model yang benar-benar berbeda. Lagi pula, krisis selalu menjadi alasan bagi kaum malas untuk berhenti bekerja, dan bagi mereka yang senang mencari kambing untuk menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dilakukannya. Jadi perubahan abad 21 sudah di depan mata.

Apakah (anak) Anda masih diwajibkan untuk mempelajari berbagai hal yang tidak fokus? Akhirnya selepas SMA kebingungan mau kuliah apa, itupun bagi mereka yang beruntung punya uang. Jika dana Anda cuma pas-pas-an untuk biaya kuliah, mengapa tidak mempersiapkan anak anda selepas SMP, sehingga masa SMA mereka sudah fokus belajar coding dan menjadi programmer yang bisa menjamin biaya hidup di masa depan, termasuk mampu bayar kuliahnya sendiri dari hasil magang / kerja di perusahaan e-commerce yang bekerjasama dengan Coding Smart School.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun