Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendikbud, Hentikan "Lindungi" Guru PAUD Pendukung Radikalisme

21 Agustus 2018   21:29 Diperbarui: 21 Agustus 2018   22:01 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

              - Argumen bahwa kostum bercadar  (yang mengingatkan kostum ISIS dan para teroris  perempuan pembawa bom)  layak dipertanyakan.

Bahkan saya baca, guru PAUD Kartika sampai googling untuk mendapatkan kostum yang cocok. Hmm, maksudnya cocok untuk apa ya? Apakah begitu kostum para perempuan Indonesia yang pas,   apalagi kalau dikaitkan dengan peringatan perjuangan merebut kemerdekaan ke-73?

Terlepas dari argumen apapun seputar pawai, harusnya anda sebagai Menteri Pendidikan melihat lebih cermat, bahwa ada indikasi menguatnya para guru pendukung radikalisme.  Diakui atau tidak, para guru dan kepsek itu pasti dengan sadar sewaktu memilih mendandani anak-anak PAUD dengan kostum teroris (karena jelas terlihat, berkalung replika senjata) dalam pawai HUT Kemerdekaan NKRI di Probolinggo Jawa Timur.

Justru Menteri Pendidikan NKRI punya kewajiban moral untuk menyeleksi mana para pendidik yang pantas mendidik anak-anak bangsa Indonesia, mana yang tidak. Kita tidak usah pura-pura buta sehingga menolak melihat ancaman radikalisme dalam dunia pendidikan. Ancaman itu sungguh nyata. Dan kita tidak perlu belagak pilon, untuk mencatat, siapa siapa saja guru-guru yang sudah teracuni radikalisme.

Buat saya, makin membuktikan ucapan Yenny Wahid dari Ormas Nadhatul Ulama, bahwa makin nyata indikasi para guru menjadi sumber masalah sekarang dan kemudian hari bagi NKRI karena mereka ternyata pendukung negara khilafah. Racun radikalisme negara khilafah, ternyata sudah menjalar kemana-mana.guru pesantren, guru formal SD SMP SMA SMK, eh ternyata guru PAUD juga.

Keterlaluan, kalau guru guru  ternyata yang meracuni muridnya dengan paham anti NKRI.Guru-guru berpaham radikal ini yang sudah tidak bisa diselamatkan, biarkan saja. Biarkan mereka sampai mati mempercayai mimpi Indonesia menjadi negara khilafah. Namun saya tidak bisa terima, kalau guru-guru "sakit" itu diberi waktu dan kesempatan bahkan digaji rakyat Indonesia, tetapi meracuni generasi muda bahkan generasi cilik Indonesia untuk berpaham radikalisme.

Kalau belum percaya juga, minimal saya bisa menyebutkan guru perempuan di Jakarta yang "rajin sekali" meracuni siswa dengan paham radikalisme.  Guru yang ternyata mualaf itu, yang digaji Pemerintah RI,  rajin menjelek-jelekkan Pemerintah Indonesia yang sah. Racun ibu guru radikal itu telah membuat muak siswa non Islam di sekolah itu dan melapor ke Kepala Sekolah. Tapi ternyata Kepsek diam, mungkin sealiran radikal juga.

Jika sikap diam menghadapi radikalisme para guru,  menjadi pilihan Pak Muhadjir silakan saja. Namun sebagai Menteri Pendidikan, Anda malah membela sekolah radikal bahkan memberi Rp 25 juta uang APBN (yang artinya uang rakyat Indonesia, uang dari pajak saya juga) maka itu sudah tidak pantas.

Jadi walaupun secara pribadi saya menghormati beberapa pikiran Pak Muhadjir, tetapi kali ini berbeda. Jika boleh usul, saatnya Kemdikbud mulai benar benar menyeleksi para guru, para tenaga kependidikan, para pegawai dinas, para pegawai kementerian, dan mulai dari sang menteri.

Yang tidak lolos seleksi harus dipecat.  Karena jauh lebih baik para pengkhianat NKRI dimusnahkan daripada puluhan, ratusan, ribuan, jutaan generasi muda Indonesia teracuni oleh mereka.

Untuk PGRI sebagai organisasi guru juga bisa berbenah. Mulai dengan screening, guru pendukung khilafah bisa dideteksi dan ditobatkan, disadarkan. Kalau tidak bisa, silakan dipinggirkan dan ditinggalkan, daripada jadi virus pembusuk NKRI bagi siswa siswanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun