Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Met Kerja Mas Farid, Dirjen Kebudayaan Baru

2 Januari 2016   11:42 Diperbarui: 2 Januari 2016   12:55 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kaget dan Tidak kaget membaca berita di laman facebook Alumni LabSchool Jakarta.  31 Desember kemarin, Hilmar Farid Setiadi --yang jaman SMA biasa kami panggil Farid-- dilantik menjadi Direktur Jenderal Kebudayaan yang baru. Farid menggantikan Dirjen Kebudayaan sebelumnya, Kacung Marijan, yang telah menjabat selama 4,5 tahun. 

Yang bikin kaget,  Farid  adalah orang pertama yang menduduki posisi Direktur Jenderal di Kementerian Republik Indonesia, yang bukan dari jalur PNS, bukan PNS. Walaupun waktu hot-hotnya semua orang membidik para calon menteri, nama Farid masuk sebagai calon Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Farid sempat menjadi pendukung kampanye Jokowi - JK sebagai Kepala Devisi Pengkajian Seknas Jokowi. Pada Maret 2012, Farid membentuk Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB), yang bertujuan mensosialisasi pilkada Jakarta 2012 tanpa keterlibatan uang dan mendukung serta mengkampanyekan figur yang layak dipilih.

Dr. Hilmar Farid Setiadi begitu nama resminya dikenal sebagai sejarawan, aktivis, dan pengajar. Pria kelahiran Bonn, Jerman Barat, 8 Maret 1968, ini merupakan anak Agus Setiadi, penerjemah buku cerita anak. Sejak SMP,  konon Farid rajin  membantu ayahnya Pak Setiaji menerjemahkan  buku-buku favorit tahun 1980an seperti serial Lima Sekawan karangan Enid Blyton, buku pahlawan dunia, Florence Nightingale dan beberapa buku lain. 

Pada 1993, ia menyelesaikan studinya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dengan judul skripsi “Politik, Bacaan dan Bahasa Pada Masa Pergerakan: Sebuah Studi Awal”. Dua tahun setelah lulus, pria penyuka musik ini kemudian mengajar di Institut Kesenian Jakarta selama 4 tahun. Pada 1994, bersama beberapa seniman, peneliti, aktivis, dan pekerja budaya di Jakarta, ia mendirikan Jaringan Kerja Budaya dan menerbitkan bacaan cetak berkala Media Kerja Budaya.

Pada 2002, Farid mendirikan dan memimpin Institut Sejarah Sosial Indonesia hingga 2007. Saat ini ia masih bertindak sebagai ketua dewan pembina organisasi nirlaba tersebut sambil menjadi Ketua Perkumpulan Praxis sejak 2012. Tertarik pada kebudayaan dan sejarah, Farid  aktif di Asian Regional Exchange for New Alternatives (ARENA) dan Inter-Asia Cultural Studies Society sebagai editor. 

Pada 2012,  Farid menulis bukunya berjudul Kisah Tiga Patung diterbitkan Indonesia Berdikari. Sebentar lagi, bukunya yang lain akan segera terbit. Buku ini berasal dari disertasi doktornya di National University of Singapore bidang kajian budaya pada Mei 2014 berjudul “Rewriting the Nation: Pramoedya and the Politics of Decolonization.

Farid yang dalam memori saya, sebagai teman SMA adalah lelaki cuek berambut gondrong sebahu, saat dilantik masih menduduki jabatan komisaris di PT Krakatau Steel (Persero.

Met Kerja ya mas Farid. Saya dan temen-temen yang suka menulis siap membantu juga loh. Semoga kehadiranmu bisa memberi pencerahan baik eksternal untuk mengembankan budaya Indonesia, dan internal. Bukan rahasia toh, kalau orang-orang di Kemdikbud itu masih banyak orang lama yang nyaman dengan Korupsi Kolusi dan Nepotisme.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun