Wowww, nggak nyangka masih banyak aja yang salah kaprah tentang homeschooling. Padahal kalau mau googling sedikit aja (keyword: Homeschooling Myths) sudah banyak yang tunjukkan dan buktikan secara riset ilmiah dan kenyataan.
Minimal ada 11 MITOS yang SALAH TENTANG HOMESCHOOLING (tapi masih banyak yang percaya, dan diam-diam mengubur potensi anak-anaknya)
- Anak yang bersekolah formal lebih baik sosialisasinya daripada Homeschooler
(benar-benar terbalik!. Coba introspeksi, ngomong “kotor”, trauma di bully, biasanya hasil sosialisasi di sekolah, kan?)
- Homeschooler tidak punya teman
Justru karena belajar dan bersosialisasi dengan berbagai kalangan, homeschooler punya lebih banyak teman dan lebih variatif, nggak terpaksa berteman dengan itu-itu saja.
- Homeschooling pasti mahal
Berdasarkan pengalaman saya homeschooling sejak tahun 2004, karena menghomeschoolingkan anak-anak saya, justru pengeluaran untuk pendidikan mereka maksimal cuma ½ total biaya dibandingkan ponakan saya yang seusia di sekolah formal (dengan kualitas dan pergaulan yang setara).
- Orang tua harus berbakat jadi guru,
Kalau kebetulan ya bagus, tapi guru homeschooling pilihan banyak, ada link internet yang memuat berbagai jawaban teraktual, ada tutor yang punya ilmu pengetahuan dan siap membantu.
- Homeschooling hanya belajar di rumah,
MercySmart Homeschooling memberikan kesempatan anak belajar di rumah bersama orangtua, dan juga di komunitas. Belajar di komunitas bersama homeschooler lainnya dan dibimbing tutor + fasilitas link internet. Komunitas selalu terbuka dari Senin sampai Jumat
- Bahwa sekolah formal, kelas formal = “alam bebas”
Silakan kritisi, di mana anak-anak berada, dari masuk kelas sampai pulang sekolah? Setahu saya, murid sekolah formal dikungkung di dalam kelas terus. istirahat 30 menit berebut ke kantin atau jajan di pinggir pagar sekolah. Berjibaku makan dan buang air kecil, lalu kebirit-birit masuk kelas lagi.
7. Pendidikan dikelompokkan berdasarkan usia adalah tepat
Untuk menyatakan itu tepat atau tidak sangat relative. Mengingat dunia sekarang sudah terbuka, dan persaingan terjadi di berbagai lintasan umur, maka kita akan ketinggalan jika berpatokan pendidikan harus dikelompokkan sesuai usia.
Contoh nyata, Andre Christoga (11 tahun, homeschooler) dan Christie Kirana (16 tahun, lulusan homeschooling, sekarang kuliah) mampu bersaing dengan para programmer lulusan Universitas di ajang Hackathon (kompetisi membuat applikasi computer tingkat nasional dan internasional)