Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

(2 Tahun) KOMPASianer dan KOMISIoner KPK

15 Juni 2015   14:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:02 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Hari ini tepat saya 2 tahun menjadi Kompasianer. Suatu kehormatan bagi saya karena walau cuma sesekali sempat menulis, tetapi bisa mempunyai tambahan teman dan kenalan dan bisa bersua dengan teman-teman lama yang mayuritas wartawan media. Terimakasih juga karena bisa bertemu lagi dengan kang Pepih dan bisa berteman dengan Mbak Ella Yusuf, mas Nurul, dan semua pasukan admin Kompasiana yang cerdas dan jago nulis. 

Selama  2 tahun menjadi Kompasianer, saya menjadikan Kompasiana sebagai referensi bacaan utama jika mencari informasi, terutama yang off the record dan info bellow the line. Mengapa? Karena banyak para wartawan dan analisis berita senior yang melemparkan unek-unek dengan bebas di Kompasiana tentang berbagai berita yang mungkin mereka tidak bisa tulis di media tempat bekerja.

Sedikit flashback 2 tahun lalu, saat pertama kali saya memberanikan diri menulis di Kompasiana. Waktu itu, saya baru selesai di fit and proper test DPR RI sebagai calon Komisioner di satu lembaga tinggi negara.

Dan terus terang saya kecewa banget karena merasa banyak sandiwara alias sinetron, sepanjang proses seleksi itu. Bahwa sebelum fit and proper test, ternyata sudah ada calon jadi yang dipilih DPR berdasarkan deal-deal tertentu.

Kekecawaan itu harus saya tumpahkan, muntahkan. Kebetulan di keluarga saya, nggak ada yang ngerti banget soal itu. Teman-teman whatsupp dan grup facebook juga nggak tertarik politik dan takut politik. Sementara dokter bilang, kalau stres harus dituangkan ke tempat yang tepat, kalau salah tempat malah bikin stres baru. haha.

Akhirnya saya menuangkan unek-unek betapa kecewanya menjalani proses seleksi komisioner di negara ini. Kalau cuma modal cerdas, jujur, berani, tapi nggak punya koneksi kuat di DPR, bawaan anggota partai politik,  atau punya duit banyak = gagal maning, gagal maning terpilih di DPR.

Terlepas dari bantahan Komisioner terpilih dan bantahan dari anggota DPR yang memilih, kita lihat fakta saja. Bahwa nyatanya ada saja komisioner pilihan DPR yang bermasalah, tetapi terpilih untuk duduk di lembaga KPK, KPI, KIP, KPU, Komisi Yudisial, Ombudsman,  dan belasan lembaga tinggi negara lainnya.

Itu permainan di seleksi di tingkat nasional, yang banyak dipantau. Gimana dengan seleksi calon-calon Komisioner di tingkat propinsi yang jarang dipantau masyarakat. Aroma deal and deal sangat terasa. Bahwa calon yang dipilih bukan semata-mata karena kualitas dan kapasitas terbaik, tetapi siapa yang paling baik "dealing" dengan DPR.

Contoh nyata, ketika mantan Komisioner KPK Abraham Samad menohok Anas Urbaningrum, terbongkar kalau sebelum hari H Fit and Proper Test DPR, ada deal. Saat itu antara calon komisioner Abraham Samad yang sowan ke rumah Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Itu yang terungkap. Yang belum terungkap? hahahaha.

Padahal jelas dan tegas, saat pendaftaran calon komisioner manapun harus membuat surat pernyataan bermeterai dan menulis TIDAK MENJADI ANGGOTA PARTAI POLITIK dan atau simpatisannya. 

Beda panggang dari api ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun